Merumuskan Kebijakan Pajak Berkeadilan
Seorang pekerja memeriksa gudang produk makanan olahan di Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (5/11/2024). Makanan olahan termasuk salah satu produk yang dikenai PPN. -Sullthony Hasanuddin/nym.-ANTARA FOTO
BACA JUGA:Cara Cerdas Media Cetak Melawan Media Digital
Selain soal kelas masyarakat, dampak kenaikan tarif PPN juga bisa merambat ke harapan bonus demografi Indonesia.
Celios mencatat pengenaan tarif pajak yang lebih berat bisa memengaruhi keputusan pernikahan. Lebih spesifik, hasil investigasi Harian Kompas tentang “Angka Pernikahan” menunjukkan kelompok muda cenderung menunda pernikahan hingga memutuskan untuk tidak memiliki anak (childfree), salah satunya karena alasan ekonomi.
Indonesia sering mengglorifikasi bonus demografi yang diyakini dapat mewujudkan Indonesia Emas 2045. Padahal temuan Celios dan Harian Kompas menunjukkan adanya risiko depopulasi karena keengganan masyarakat untuk menikah dan memiliki anak, yang berarti regenerasi tenaga kerja bakal terhambat.
Berbagai situasi kompleks itu perlu dipahami sebagai pengingat bahwa kebijakan perpajakan tidak hanya berhenti pada dimensi ekonomi semata, namun berkelindan dengan dimensi sosial yang bersifat sistemik dan struktural.
Kompleksitas ini mengingatkan kembali pentingnya sosok yang mengisi jabatan menteri keuangan dalam tubuh pemerintahan. Pengingat lain adalah bahwa kebijakan perpajakan tidak bisa serta merta mengadopsi aturan di negara lain. Perlu adanya penyesuaian dengan kondisi lokal dalam menyerap kebijakan perpajakan.
BACA JUGA:Menyeimbangkan Antara Pemajuan Ekonomi dan Transisi Energi
Merumuskan kebijakan pajak
Terkait PPN, skema multitarif dengan pembagian tarif 12 persen untuk barang mewah dan 11 persen untuk barang umum bisa dibilang menjadi win-win solution dalam konteks jenis pajak ini.
Bila implementasinya berjalan sesuai desain yang dirancang, maka pertambahan pengeluaran bakal lebih banyak terjadi di kelompok atas. Sementara kelompok menengah bawah seharusnya terhindarkan dari beban pajak baru. Artinya, kekhawatiran tertekannya disposable income masyarakat kelompok menengah bawah akibat bertambahnya pengeluaran rumah tangga bisa dicegah.
Lebih jauh, Achmad mengusulkan pengenaan PPN terhadap barang mewah menggunakan tarif progresif sesuai nilai barang. Makin tinggi harga barang, makin besar tarif pajak yang dikenakan.
Konsep ini sudah diterapkan dalam pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2023, tarif PPnBM dimulai dari 10 persen hingga 200 persen, bergantung pada jenis objek pajak. Sebagai contoh, hunian mewah dikenakan tarif PPnBM sebesar 20 persen, sedangkan kapal pesiar, di luar kebutuhan negara atau umum, dikenakan tarif 75 persen.
BACA JUGA:Menguji Keberdayaan Bulog
Dengan pendekatan itu, kelompok atas berkontribusi lebih besar dalam porsi serapan pajak. Kemudian, penerimaan PPN dari barang mewah bisa lebih tinggi dibandingkan dengan tarif tunggal 12 persen.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa penerimaan pajak dari barang mewah secara umum memiliki andil yang relatif kecil pada penerimaan negara. Badan Anggaran (Banggar) DPR RI sebelumnya menyoroti rata-rata kontribusi setoran PPnBM terhadap penerimaan negara pada periode 2013--2022 hanya berkisar 1,3 persen, yang sudah mencakup pajak dalam negeri dan impor.
Dengan demikian, asumsinya bahwa setoran dari PPN 12 persen terhadap barang mewah juga tidak berkontribusi besar terhadap penerimaan negara.