Merumuskan Kebijakan Pajak Berkeadilan
Seorang pekerja memeriksa gudang produk makanan olahan di Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (5/11/2024). Makanan olahan termasuk salah satu produk yang dikenai PPN. -Sullthony Hasanuddin/nym.-ANTARA FOTO
Pemerintah dan DPR akhirnya membuka ruang negosiasi dalam pertimbangan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pengenaan tarif pajak ini direncanakan bakal bersifat selektif ke komoditas tertentu, yang utamanya menyasar kelompok barang mewah. Sementara kelompok barang dan jasa umum yang berhubungan dengan kebutuhan kelompok menengah bawah akan tetap bertahan dengan tarif lama.
Keputusan itu menjadi jalan tengah yang diambil Pemerintah setelah menerima banyak kritik mengenai rencana kenaikan PPN. Pun, keputusan itu tak terlepas dari reaksi pro-kontra di kalangan masyarakat.
Ada golongan yang sangsi lantaran Pemerintah tetap melanjutkan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu, di tengah gejolak ekonomi yang menunjukkan adanya kerentanan pada kemampuan belanja masyarakat.
Namun, ada pula golongan yang mengamini skema multitarif PPN menjadi negosiasi yang setidaknya bisa diterapkan dalam situasi ini.
BACA JUGA:Meramalkan Resesi Ekonomi dengan Sebuah Lipstik
Merumuskan regulasi perpajakan memang kompleks. Tak hanya kepentingan ekonomi, namun juga ada kepentingan politik dan sosial yang harus dipertimbangkan. Ketimpangan kelas turut menambah kompleksitas perumusan aturan perpajakan karena kebijakan perlu diupayakan agar bisa adil bagi tiap kelompok.
Oleh karena itu, penting untuk memahami urgensi dari berbagai sudut pandang agar bisa mewujudkan kebijakan pajak yang berkeadilan.
Kompleksitas beban pajak
PPN merupakan jenis pajak yang bersifat regresif lantaran tarifnya proporsional, atau sama rata untuk semua orang tanpa memandang tingkat pendapatan. Hal ini membuat beban pajak tersebut cenderung lebih berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan dengan yang berpenghasilan tinggi.
Tinjauan yang dilakukan oleh Center of Economics and Law Studies (Celios) menunjukkan adanya kenaikan pengeluaran rumah tangga yang signifikan bila PPN diterapkan sama rata sebesar 12 persen. Bagi kelompok miskin, pengeluarannya bisa bertambah sekitar Rp100 ribu per bulan. Sementara bagi kelas menengah, pertambahan pengeluaran bisa mencapai Rp350 ribu per bulan.
BACA JUGA:Mikroagresi dan Pedagang Es Teh
Bila situasi itu tak diimbangi peningkatan pendapatan, kelompok miskin hingga menengah kemungkinan bakal makin kesulitan dalam mengakses kebutuhan non-pokok, seperti pendidikan dan kesehatan. Selain itu, lantaran porsi pendapatan yang bisa dibelanjakan (disposable income) makin besar untuk kebutuhan pokok, kemampuan menabung hingga berinvestasi akan makin berkurang.
Situasi yang berlarut juga berpotensi memperlebar ketimpangan. Kelompok kelas atas tak terdampak banyak dari kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen, berbeda dengan kelompok kelas miskin hingga menengah. Menurut Celios, kondisi ini bisa memunculkan kecemburuan sosial akibat beban ekonomi yang dianggap tidak adil. Ketimpangan yang makin lebar juga bisa menghambat kelompok bawah untuk keluar dari kelas mereka dan memperbaiki taraf hidup.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat. Pun bila tarif PPN 12 persen hanya diterapkan kepada barang mewah, masyarakat kelas ekonomi bawah akan tetap terdampak.
Salah satu alasannya adalah kelas menengah bawah bisa jadi menggunakan barang mewah untuk kebutuhan pekerjaan mereka, gawai berkualitas tinggi, misalnya. Bila barang itu masuk dalam definisi barang mewah pada kebijakan PPN, kelas menengah berpotensi makin kesulitan mengakses barang yang bisa membantu meningkatkan taraf hidup mereka.