Menyempurnakan Layanan Kesehatan Daring di Indonesia
Illustration for telemedicine. (ANTARA/HO-Pexel)--
Di Indonesia, diskursus mengenai telemedicine dalam layanan kesehatan sudah dimulai sejak 1990-an. Isu ini menjadi menarik ketika dalam penerapannya ternyata mengalami berbagai tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, kapasitas SDM yang kurang, permasalahan regulasi, dan ethical practice. Namun demikian, telemedicine sebagai salah satu bentuk transformasi digital kesehatan dinilai dapat menjadi pilihan jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan.
BACA JUGA:Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila Bukan Hanya Sekedar Tugas Guru!
Sama seperti di Negeri Paman Sam, telemedicine berkembang pesat di Indonesia saat pandemi COVID-19. Sejak awal pandemi, pemerintah mendorong penggunaan layanan telemedicine untuk menekan risiko penularan penyakit hingga penggunaan teknologi ini sempat melonjak hingga 600 persen dari sebelum adanya pandemi.
Perusahaan konsultan teknologi untuk perawatan kesehatan Healthadvances memetakan adopsi telemedicine sebelum dan sesudah COVID-19. Berdasarkan penyedia, adopsi pengguna, jumlah perusahaan yang tersedia, platform telemedicine, panduan regulasi, dan reimbursement, Indonesia dan Jepang disebut sebagai negara dengan adopsi lebih cepat dibandingkan Korea Selatan dan Hong Kong.
Problem regulasi
Telemedicine awalnya digunakan untuk pertolongan pertama mencegah konsultasi medis tatap muka selama pandemi. Kenyamanan dan keamanan yang diberikan serta biaya minim, lantas membuat telemedicine banyak diminati.
Sayangnya, kebutuhan konsultasi medis secara daring belum disertai kesiapan baik dari pemangku kebijakan, penyedia layanan, maupun penggunanya sendiri (literasi digital kesehatan). Akibatnya perkembangan telemedicine malah melahirkan persoalan baru, khususnya dalam hal perlindungan hukum data pribadi pasien.
BACA JUGA:Prinsip Ekonomi Kerakyatan Menuju Indonesia Emas 2045
Perlindungan hukum data pribadi dalam pelayanan praktik kedokteran melalui telemedicine di Indonesia juga masih belum optimal. Pasal 15 Undang-Undang ITE yang mengatur tanggung jawab pengamanan data pada penyelenggara sistem elektronik, misalnya, masih merupakan norma samar (vouge normen) yang membutuhkan kepastian hukum pada pengaturan telemedicine.
Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan aturan dan ketentuan lanjutan dari UU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Kesehatan ternyata hanya mengatur telemedicine antarfasilitas pelayanan kesehatan. Tidak sampai pada telemedicine antara dokter dengan pasien, khususnya soal perlindungan hukum bagi pasien maupun data pribadi dan rekam medisnya.
Apalagi pascakejadian peretasan Pusat Data Nasional (PDN), beberapa waktu lalu, beberapa aturan terkait keamanan data pasien perlu dibuat lebih rinci. Pertama, regulasi yang berhubungan dengan instrumen telekomunikasi dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan pelayanan telemedicine. PP Nomor 28 tahun 2024 kurang memberikan spesifikasi teknis yang detail mengenai teknologi apa yang mesti digunakan penyedia layanan telemedicine untuk memastikan keamanan data.
Kedua, regulasi yang berhubungan dengan fasilitas pelayanan telemedicine. Ketiga, regulasi tenaga dokter dan tenaga paramedis/teknisi telemedicine. Keempat, regulasi yang berhubungan dengan registrasi dan sertifikasi telemedicine.
BACA JUGA:Anugerah Desa Wisata untuk Natuna
Catatan lainnya, adalah soal pengawasan dan penegakan hukum. PP No 28 tahun 2024 kurang memuat mekanisme pengawasan yang efektif dan independen untuk memastikan kepatuhan penyedia layanan telemedicine soal perlindungan data pribadi.
Begitu pula soal infrastruktur, PP Nomor 28 Tahun 2024 belum cukup mengatasi masalah kesenjangan akses infrastruktur teknologi di berbagai daerah, yang dapat menghambat pelaksanaan telemedicine secara merata di seluruh Indonesia.