Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan Baru bagi Industri Tekstil serta Alas Kaki
Kebijakan Donald Trump yang bikin geger -Julia Demaree Nikhinson-AP
BELITONGEKSPRES.COM - Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, membawa dampak yang beragam bagi perekonomian global, termasuk bagi Indonesia. Meskipun kebijakan ini dapat menimbulkan tantangan bagi para pelaku usaha, Indonesia juga memiliki peluang strategis untuk memanfaatkan perubahan ini guna meningkatkan daya saing ekonomi.
Menurut Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Veteran Jakarta, kebijakan tarif impor AS bukan hanya ancaman tetapi juga momentum bagi Indonesia untuk melakukan reformasi ekonomi.
Dengan defisit perdagangan barang yang mencapai US$ 1,2 triliun, AS berusaha menyeimbangkan kembali struktur perdagangannya, termasuk melalui kebijakan tarif yang lebih ketat.
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah penerapan tarif asimetris yang selama ini terjadi dalam perdagangan global. Misalnya, Indonesia menerapkan tarif rata-rata sebesar 8,6% terhadap produk AS, yang berkontribusi terhadap dinamika perdagangan kedua negara.
BACA JUGA:Pemerintah Siapkan Strategi Hadapi Tarif Resiprokal AS 32 Persen
BACA JUGA:Pemerintah Diminta Segera Antisipasi Dampak Tarif Baru AS terhadap Ekspor Indonesia
Selain tarif, hambatan non-tarif seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) serta kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) juga menjadi faktor yang memengaruhi hubungan perdagangan.
Sementara itu, kekhawatiran bahwa kebijakan tarif impor AS akan sangat berdampak pada ekspor Indonesia dinilai berlebihan.
Ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang sekitar 12% dari total ekspor nasional, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam (28%) atau Meksiko (36%).
Sektor yang paling terdampak adalah industri tekstil dan alas kaki, yang menghadapi tantangan struktural dalam hal inovasi dan efisiensi produksi.
Namun, di balik tantangan ini, ada peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat sektor industri lainnya. Sektor elektronik, misalnya, memiliki potensi untuk beralih dari sekadar perakitan menjadi pusat pengembangan teknologi, sebagaimana yang telah dilakukan Vietnam dalam menarik investasi semikonduktor.
Selain itu, sektor pertanian dan kelautan juga dapat lebih dikembangkan untuk memenuhi permintaan dari pasar non-tradisional seperti Timur Tengah dan Afrika.
Dalam menghadapi kebijakan tarif ini, Indonesia perlu lebih aktif dalam diplomasi perdagangan dengan AS. Pemerintah diharapkan dapat menawarkan kemitraan strategis yang konkret, terutama dalam sektor mineral kritikal seperti nikel dan timah yang sangat dibutuhkan oleh industri teknologi AS.
Langkah strategis lainnya meliputi penguatan daya saing melalui digitalisasi industri, ekspor jasa digital seperti SaaS dan fintech, serta pemanfaatan jaringan diaspora Indonesia di AS untuk memperluas akses pasar.