Tarif 32 Persen dari AS Berpotensi Tekan Surplus Dagang Indonesia

Ilustrasi ekspor dan impor-Andry Denisah-Antara

BELITONGEKSPRES.COM - Langkah Amerika Serikat (AS) untuk mengenakan tarif impor hingga 32% terhadap produk Indonesia menjadi sinyal penting bagi Indonesia untuk melakukan penyesuaian strategi dagang secara menyeluruh. 

Bagi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, situasi ini bukan hanya tantangan, tetapi juga momentum untuk memperkuat posisi nasional di lanskap perdagangan global yang dinamis.

Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie, menekankan bahwa kebijakan tarif baru tersebut bisa memberikan tekanan besar pada neraca perdagangan Indonesia, khususnya karena AS merupakan mitra dagang strategis sekaligus penyumbang devisa terbesar.

“Hanya pada 2024 saja, kita mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 16,8 miliar dengan AS. Ini kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional,” ujar Anindya dalam pernyataan resminya, Sabtu 5 April.

BACA JUGA:Pariwisata Jadi Penyelamat Ekonomi RI Hadapi Dampak Kebijakan Trump

BACA JUGA:Inspirasi Desa Wunut Kelola Wisata Raih Omzet Rp6 Miliar, Bagi-bagi THR Hingga Jaminan Sosial

Ia menjelaskan bahwa sebagian besar ekspor Indonesia ke AS berasal dari sektor manufaktur bernilai tambah tinggi, seperti peralatan elektronik, alas kaki, dan pakaian jadi bukan komoditas mentah. Saat ini, sebagian produk bahkan mendapat tarif masuk nol persen karena keikutsertaan dalam skema Generalized System of Preferences (GSP).

Namun, jika kebijakan tarif 32% benar-benar diterapkan, posisi daya saing Indonesia bisa terdampak. Menyikapi hal itu, Kadin mendorong pemerintah dan pelaku industri untuk menyusun strategi dagang baru yang lebih adaptif dan terfokus.

Anindya menekankan perlunya penyesuaian pendekatan perjanjian dagang bebas (Free Trade Agreement/FTA) dengan model yang lebih selektif dan vertikal. Ini berarti penguatan rantai nilai dari hulu hingga hilir dalam satu industri, guna memastikan produk ekspor memiliki nilai tambah yang kuat.

“Kita bisa fokus pada satu sektor unggulan dan mengoptimalkan potensi ekspor dari sisi kualitas, bukan sekadar kuantitas,” jelasnya.

Di saat yang sama, Indonesia juga didorong untuk membuka pasar baru di kawasan nontradisional seperti Asia Tengah, Turki, Afrika, dan Amerika Latin kawasan yang selama ini belum sepenuhnya tergarap maksimal.

Anindya menambahkan bahwa penguatan pasar ASEAN juga penting sebagai cadangan pertumbuhan regional, apalagi di tengah meningkatnya tensi dagang global.

BACA JUGA:Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan Baru bagi Industri Tekstil serta Alas Kaki

BACA JUGA:Pemerintah Siapkan Strategi Hadapi Tarif Resiprokal AS 32 Persen

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan