Harapan Generasi Z Memiliki Rumah Lewat Tapera

Warga melintas di rumah relokasi penyintas gempa di Babakankaret, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (16/2/2024). Kementerian PUPR menyelesaikan pembangunan 190 unit hunian tetap di atas lahan seluas 2,7 hektare yang merupakan rumah relokasi tahap III bagi penyin--

Generasi Z, generasi yang lahir pada era digital antara tahun 1997 hingga 2012, kini menjadi sorotan utama di tengah kondisi ketenagakerjaan yang mengkhawatirkan di Indonesia.

Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap fakta bahwa pada Agustus 2023, terdapat 9.896.019 orang Generasi Z yang tidak bekerja, tidak kuliah, ataupun mengikuti pelatihan (NEET - not in employment, education, and training). Angka ini setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia muda di Indonesia.

Fenomena tingginya angka pengangguran di kalangan Generasi Z di Indonesia menjadi sebuah paradoks dengan citra yang kerap digambarkan bahwa mereka adalah generasi yang asik, suka bertualang, dan menikmati hidup sesuai dengan gambaran survei urban dan media.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahkan menyatakan secara gamblang dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI bahwa terdapat ketidaksesuaian (miss-match) antara output dari pendidikan vokasi dengan kebutuhan pasar kerja.

Kondisi ini bertentangan dengan survei Randstad Workmonitor tahun 2022 yang mengungkap fakta bahwa 41 persen responden Generasi Z di wilayah Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika lebih memilih menganggur daripada terjebak dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia, menyoroti pergeseran perspektif Generasi Z yang cenderung lebih mengutamakan kepuasan kerja dibandingkan jaminan gaji atau stabilitas pekerjaan.

BACA JUGA:Mengatasi Ancaman: Upaya Melestarikan Perairan Bangka Belitung dari Kerusakan

Di tengah kondisi ketenagakerjaan yang sudah cukup berat, Generasi Z juga harus menanggung beban sebagai bagian dari sandwich generation. Survei CNBC Indonesia pada tahun 2021 menyebutkan bahwa 48,7 persen masyarakat produktif, termasuk Generasi Z, adalah generasi sandwich yang harus menanggung biaya hidup sendiri, anak (jika sudah ada), dan orang tua dalam waktu bersamaan.

Kondisi ini bahkan mendorong Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, untuk mengingatkan para orangtua agar tidak melahirkan sandwich generation dengan meminta anak menyokong perekonomian orangtua.

Harapan Gen Z miliki rumah

Kebijakan baru pemerintah yaitu Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 justru menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, terutama buruh dan pekerja. Kebijakan Tapera mengharuskan pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5 persen ditambah iuran 0,5 persen dari pemberi kerja untuk menghimpun dana pembiayaan rumah murah.

Penolakan ini tidak hanya datang dari kalangan buruh dan pekerja, tetapi juga dari pengusaha yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap potongan gaji untuk Tapera karena pekerja sudah dibebani pungutan sebesar 18,24 -19,74 persen dari penghasilan mereka, seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan sosial kesehatan, dan cadangan pesangon.

BACA JUGA:Menangkap Peluang dari Bonus Demografi di Era Digital

Meskipun Pemerintah menyatakan bahwa Tapera bertujuan menghimpun dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan yang layak bagi peserta dengan asas gotong royong, kebijakan ini dinilai masih memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi biaya hidup yang terus meningkat.

Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama dari Fraksi PKS mencatat bahwa kebijakan Tapera perlu memperhatikan golongan kelas menengah yang sudah memiliki rumah namun tetap diwajibkan mengikuti program ini.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan