Medan Tempur Baru Prabowo: Tarif Trump dan Tekanan Asimetris

Ilustrasi: Kolase komoditas dalam perang tarif perdagangan global--(ANTARA/Anadolu/py/am)

JAKARTA - Dunia hari ini tidak lagi memberikan ruang bagi kenyamanan semu. Krisis demi krisis, dari pandemi global hingga perang tarif antarnegara besar, telah menjungkirbalikkan tatanan yang selama ini kita kenal.

Medan yang kita hadapi bukan lagi sekadar persoalan pembangunan atau pertumbuhan, melainkan palagan geopolitik yang kian brutal dan tanpa ampun. Dalam lanskap ini, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka atau pasar, melainkan bagian integral dari strategi pertahanan nasional.

Kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, yang menjatuhkan beban 32 persen kepada ekspor Indonesia, memberi sinyal jelas bahwa dunia telah bergeser. Ekonomi menjadi instrumen tekanan, simbol pemihakan, dan alat dalam perebutan dominasi global.

Dalam konteks ini, ekonomi Indonesia tak bisa lagi hanya ditopang oleh hitungan neraca dan target makro. Ia harus dibangun sebagai sistem pertahanan, sebagai resiliensi strategis.

BACA JUGA:Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan Baru bagi Industri Tekstil serta Alas Kaki

Tantangan Geopolitik dan Perang Ekonomi

Tarif tinggi ini adalah bagian dari strategi decoupling atau de-risking Amerika Serikat dari China, tapi dengan efek domino ke negara-negara lain yang dianggap terlalu dekat dengan orbit ekonomi Beijing. Indonesia, yang selama ini menjadi tujuan relokasi industri dari China, mulai dipersepsikan sebagai bagian dari "proksi dan rantai pasok China". Akibatnya, kita ikut terkena imbas.

Kita juga sedang terlibat dalam perang ekonomi global. Tarif yang dulu digunakan untuk melindungi industri dalam negeri, kini menjadi alat untuk membatasi pertumbuhan negara-negara yang dianggap mengancam posisi AS.

Indonesia, dengan posisi bebas-aktifnya, justru terseret dalam tarik-menarik antara dua kekuatan besar. Bahkan negara-negara kecil seperti Kamboja dan Laos pun turut dikenai penalti.

Sebagai pemerhati isu strategis dan pertahanan, saya melihat bahwa kebijakan tarif ini merupakan bagian dari kompetisi kekuatan global yang tak lagi mengenal batas antara sipil dan militer. Ekonomi kini adalah front terdepan dari perang hibrida, perang tanpa peluru, namun berdampak langsung pada stabilitas dan kedaulatan negara. Kita tidak bisa lagi memisahkan perdagangan dari politik luar negeri, atau investasi dari orientasi keamanan nasional.

BACA JUGA:Pemerintah Siapkan Strategi Hadapi Tarif Resiprokal AS 32 Persen

Lebih dari itu, kebijakan tarif semacam ini dapat digunakan sebagai alat bargaining atau bahkan tekanan untuk menentukan arah aliansi. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat, negara-negara berkembang akan dihadapkan pada dilema geopolitik yang lebih tajam: apakah tetap berpegang pada prinsip non-blok, atau bersiap memilih blok kekuatan baru.

Respons Strategis Indonesia

Era Prabowo dimulai di tengah perubahan lanskap global yang cepat dan penuh tekanan. Dunia bergerak dari multilateralisme menuju proteksionisme bersenjata.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan