Hidup Bersama Gelap, Sehat Berkat PLN

Kamis 31 Oct 2024 - 22:49 WIB
Oleh: Nur Suhra Wardyah

Apalagi, ketika menghadapi persalinan seorang ibu hamil. Dia yang bertugas sendirian sebagai tenaga kesehatan mendapat ujian lebih besar saat harus menolong nyawa dua orang sekaligus, ketika menangani pasien partus. Ia mulai membantu persalinan, memastikan kondisi ibu dan anak dalam keadaan sehat, hingga mengupayakan kesehatan prima pada sang ibu setelah melahirkan.

BACA JUGA:Menilik Pulau Bando, Konservasi Alam Pertama Terapkan Energi Terbarukan

"Untuk pasien yang partus, tentu butuh pencahayaan bagus. Apalagi setelah melahirkan, pasien akan dijahit dan kami butuh pencahayaan dalam proses penjahitan," ungkapnya, mengisahkan kebutuhannya dalam menangani sejumlah kasus kesehatan di Pulau Laiya.

35 tahun dalam kegelapan

Selama 35 tahun, Pulau Laiya yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga (KK) ini tidak tersentuh listrik. Hanya bermodalkan genset pemerintah, ditopang genset swadaya masyarakat, listrik dan penerangan itu baru bisa dinikmati, khususnya pada malam hari. Waktunya juga tidak terlampau lama, hanya 3 jam, mulai pukul 18.00 hingga pukul 21.00 Wita.

Keadaan ini telah menghambat berbagai aktivitas masyarakat di malam hari. Di saat masyarakat lainnya menghibur diri dengan nongkrong di kafe atau menikmati tontonan netflix, tidak demikian dengan masyarakat Pulau Laiya, kala itu.

Hiburan yang hanya melalui televisi pun sangat terbatas, waktu belajar bagi siswa lebih sedikit di malam hari, kesulitan menangani pasien dan pelayanan kesehatan, keterbatasan pemanfaatan peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik, menghambat kerja administrasi dan sangat berdampak pada pengembangan ekonomi kemasyarakatan.

BACA JUGA:Memacu Daya Saing 'Emas Hijau' di Pesisir Utara Jawa Barat

Kepala Desa Mattiro Labangeng Musmuliadi mengisahkan bahwa pergerakan ekonomi yang berjalan terbilang lambat akibat listrik yang belum secara berkeadilan dinikmati warganya. Banyak aktivitas yang sangat tidak efisien akibat listrik belum maksimal hadir di pulau yang menjadi bagian gugusan Spermonde tersebut.

Berada di wilayah kepulauan, masyarakat yang kebanyakan nelayan membutuhkan es batu untuk membekukan hasil tangkapannya, namun mereka tidak bisa memenuhi itu, lantaran lemari pendingin tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, para warga harus mengeluarkan tenaga ekstra dan biaya tambahan agar hasil tangkap bisa diolah dan dibekukan.

"Kami mau bikin es batu, juga tidak bisa karena tidak bisa pakai kulkas. Jadi kami itu beli di pulau lain untuk kami gunakan di sini. Anak-anak mau belajar malam, juga tidak maksimal," ujar Musmuliadi.

Jika pemandangan mengerjakan PR bagi pelajar kerap didapati di malam hari, tidak demikian bagi kebanyakan siswa di pulau yang terbatas penerangan. Aktivitas malam hari sangat terbatas, sehingga dipastikan waktu yang dimiliki tidak bisa maksimal digunakan.

Lebih dari itu, pengembangan desa dipastikan terhambat karena listrik sebagai kebutuhan vital saat ini sangat terbatas. Aktivitas sosial, perekonomian, hingga kesehatan sangat berpengaruh terhadap penggunaan listrik sebagai kebutuhan utama dalam menjalankan roda kehidupan.

BACA JUGA:Di Persimpangan Dimensi Budaya (Catatan Perjalanan Program AFS 2024)

SuperSUN menerangi

Hidup puluhan tahun bersama gelap kini mulai berubah. Sinar lampu tampak menghiasi lorong-lorong di Pulau Layya. Terang adalah satu kata yang menggambarkan perubahan paling mencolok pada Pulau Laiya, sejak satu bulan terakhir.

Aktivitas warga yang lalu-lalang di tengah malam, kini mulai menjadi pemandangan baru di wilayah kepulauan itu, anak-anak belajar di malam hari, suara TV dan pengeras suara, mulai sahut menyahut di pagi hingga malam hari, pembuatan es batu dari kulkas rumah warga, pembekuan hasil tangkapan nelayan, penjualan minuman dingin, pelayanan umum yang semakin maksimal, hingga pelayanan kesehatan di malam hari mulai dioperasikan menjadi beragam kegiatan yang telah bisa dijumpai di Pulau Laiya.

Meski berangsur-angsur, penyalaan listrik di kantor pelayanan umum selama 24 jam telah beroperasi sekitar satu bulan, sementara rumah-rumah warga baru dua pekan. Hal ini dianggap menjadi sebuah kesyukuran luar biasa bagi masyarakat yang telah hidup dalam kegelapan puluhan tahun lamanya itu.

Kategori :