Belajar Sosiologi, Membaca Wajah Masyarakat!
Ares Faujian--
Di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan perubahan sosial yang begitu cepat dan kompleks. Pandemi global Covid-19 telah mengguncang tatanan sosial, memperlihatkan ketimpangan ekonomi, dan memperdalam jurang antara yang kaya dan miskin. Gerakan protes masif seperti Black Lives Matter di Amerika Serikat hingga aksi iklim yang dipimpin kaum muda seperti Fridays for Future mencerminkan keresahan sosial yang mendalam. “Globalisasi telah membawa kita lebih dekat bersama-sama, tetapi juga memperlebar kesenjangan yang ada di antara kita”, kata sosiolog Ulrich Beck dalam bukunya Risk Society (1992).
Di Indonesia, fenomena sosial juga tidak kalah menarik untuk diamati. Maraknya korupsi, kolusi hingga nepotisme yang merambah berbagai lini pemerintahan hingga ketimpangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan menjadi cerminan dari kompleksitas masyarakat kita. Menurut Soerjono Soekanto (1982), "Perubahan sosial di Indonesia terjadi begitu cepat sehingga norma dan nilai yang lama sering kali bertabrakan dengan yang baru”. Semua ini menuntut kajian sosiologis yang mendalam untuk memahami akar permasalahan dan mencari keputusan dan solusi yang tepat.
Mengapa penting bagi kita untuk mempelajari sosiologi? Di tengah dinamika sosial yang terus berubah, sosiologi memberikan kita alat untuk memahami bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana norma dan nilai dibentuk, serta bagaimana kekuasaan dan ketimpangan didistribusikan. "Sosiologi membuka jendela ke dalam dunia sosial, membuat yang tak terlihat menjadi terlihat," tulis Peter Berger dalam Invitation to Sociology (1963). Dengan mempelajari sosiologi, kita dapat membaca "wajah masyarakat" dengan lebih jernih, mengidentifikasi masalah, dan berkontribusi dalam pencarian solusi.
BACA JUGA:PKB Belum Tentukan Calon di Pilkada Belitung 2024
Secara sederhana, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dan berbagai fenomena sosial di dalamnya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte pada abad ke-19, yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Comte berpendapat bahwa masyarakat dapat dikaji secara ilmiah sebagaimana halnya alam. Dalam bukunya, Cours de Philosophie Positive (1830-1842), Comte menekankan pentingnya menggunakan metode ilmiah dalam mempelajari masyarakat.
Banyak tokoh sosiologi dunia yang telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman kita tentang masyarakat. Karl Marx, dalam Das Kapital (1867), menyoroti bagaimana ketimpangan ekonomi menjadi sumber utama konflik dalam masyarakat. Emile Durkheim, melalui konsep solidaritas sosial dalam bukunya The Division of Labour in Society (1893), menunjukkan bagaimana ikatan sosial terbentuk dan menjaga kestabilan masyarakat.
Selanjutnya, ada pula Georg Simmel dalam The Philosophy of Money (1900) dan Talcott Parsons dengan teori tindakan sosialnya dalam The Structure of Social Action (1937), yang memberikan pandangan berharga tentang bagaimana masyarakat berfungsi dan berkembang. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975), menunjukkan bagaimana institusi seperti rumah sakit, penjara, dan sekolah memainkan peran penting dalam membentuk perilaku dan pikiran individu. Semua pemikiran ini memperkaya pemahaman kita tentang kompleksitas kehidupan sosial dan membuka jalan bagi analisis yang lebih dalam.
BACA JUGA:Anies Baswedan Ditinggal Semua Partai, Bagaimana Nasibnya di Pilkada DKI 2024?
BACA JUGA:AHY Serahkan Rekomendasi Demokrat untuk Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan di Pilgub Jabar 2024
Di Indonesia, sosiologi juga berkembang dengan tokoh-tokohnya yang memiliki pengaruh besar dalam memahami dinamika sosial di Tanah Air. Salah satu tokoh yang patut disebut adalah Selo Soemardjan, yang dikenal sebagai "Bapak Sosiologi Indonesia." Kajiannya tentang perubahan sosial di Indonesia pasca-kemerdekaan memberikan landasan penting bagi pemahaman kita tentang bagaimana masyarakat Indonesia bertransformasi dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi (Soemardjan, 1962). Selain itu, tokoh seperti Koentjaraningrat, dengan kajiannya tentang antropologi dan sosiologi, juga turut memperkaya wacana sosiologi di Indonesia, terutama dalam konteks budaya dan struktur sosial (Koentjaraningrat, 1985).
Teori-teori sosiologi tidak hanya berguna dalam konteks akademis, tetapi juga dalam memahami peristiwa sosial sehari-hari. Misalnya, teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Herbert Blumer dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana media sosial mempengaruhi identitas individu. Teori konflik sosial dari Marx juga bisa membantu kita memahami konflik dan dinamika kekuasaan dalam politik lokal. "Sosiologi memberi kita lensa untuk melihat dunia secara lebih kritis," kata Anthony Giddens dalam Modernity and Self-Identity (1991). Dengan menerapkan teori-teori ini, kita bisa melihat peristiwa sehari-hari dengan sudut pandang yang lebih dalam dan kritis.
Sosiologi bisa dipelajari melalui berbagai cara, baik melalui pendidikan formal di universitas maupun melalui pembelajaran mandiri. Sejak SMP/MTs, kita sudah dikenalkan dengan sosiologi dalam mata pelajaran IPS (terpadu). Misalnya pada materi interaksi sosial dan norma sosial. Di SMA/MA, pelajaran sosiologi malah dipisah menjadi tersendiri, yaitu mata pelajaran sosiologi. Lebih-lebih memilih sosiologi sebagai jurusan kuliah di perguruan tinggi.
BACA JUGA:Kejutan PKB di Pilkada Belitung 2024: Ronny Setiawan dan Siti Maghfiroh Siap Bertarung