Taat Pajak Sebagai Sumbangsih Warga Kepada Negara

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara untuk kemudian dikelola Pemerintah yang akan dikembalikan dalam bentuk pembangunan. ANTARA/Sizuka--

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara untuk kemudian dikelola pemerintah --selaku penerima mandat kekuasaan-- yang akan dikembalikan dalam bentuk pembangunan, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan. Karena pemanfaatan pajak untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, idealnya warga negara memiliki kepatuhan dalam membayar iuran itu.

BACA JUGA:Melawan Hoaks Lewat Filsafat Sebagai Filter Berpikir Rasional

Adapun dari pihak penyelenggara pemerintah berpegang pada prinsip, “Filosofi pajak adalah mengumpulkan dana bukan memidana”. Bila satu pihak patuh dan pihak lainnya ramah serta memudahkan--bukan mengancam--maka selesai persoalan.

Jika nyatanya hingga saat ini masih bermasalah yang ditandai rendahnya rasio pajak, artinya banyak yang perlu dibenahi. Fakta-fakta seperti berikut ini yang acap menimbulkan rasa malas warga membayar pajak:

- Birokrasi yang tidak melayani. Hakikat pemerintahan adalah pelayanan, prinsip ini yang belum disadari secara merata oleh aparat utamanya di tingkat daerah. Di kota-kota besar praktik pungli sudah sangat tereduksi oleh sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Akan tetapi di kampung, seperti wilayah kecamatan ke bawah, sikap transaksional pegawai pemerintahan masih terasa kental. Ketika warga datang mengurus sesuatu yang membutuhkan surat-menyurat, biasanya mereka akan “jual mahal” dengan mengulur-ulur waktu hingga orang gemes dan menyelipkan amplop agar urusannya dipercepat. Terbukti setelah menerima sogokan, urusan menjadi mudah dan cepat beres.

- Sarana umum rusak/tidak terawat. Ketika kita melewati jalanan rusak atau melihat gedung sekolah yang jelek tak kunjung diperbaiki, otomatis kita akan mempertanyakan ke mana pajak masyarakat dipergunakan. Karena pembangunan sarana prasarana umum dibiayai dengan pajak sehingga wajar bila ada pertanyaan semacam itu.

BACA JUGA:Transisi Energi Berkeadilan dalam Perspektif Spiritualitas Keagamaan

Banyak juga jalan-jalan kampung sekarang dibeton halus mulus, itu yang kebetulan kepala desa atau lurahnya amanah membelanjakan dana desa. Selebihnya tidak sedikit pula jalanan rusak, entah jalan wilayah kecamatan atau kabupaten, hingga kubangan dapat digunakan kerbau berendam.

Kondisi semacam itu biasa terjadi di daerah yang jauh dari pengawasan Pemerintah Pusat, meski di Kabupaten Bogor atau wilayah Banten pun juga ada. Nanti akan segera ada perbaikan setelah diviralkan oleh warganet melalui media sosial. Salah satu perkembangan baik dari media sosial saat ini adalah cukup berpengaruh dalam memainkan peran sebagai kontrol sosial.

- Kewajiban melapor. Setelah menunaikan kewajiban membayar pajak, tak lantas urusan selesai sampai di situ. Masih ada tugas tahunan untuk melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT). Di sini logika pajak dipertanyakan, mengapa warga yang sudah membayar masih dibebani juga untuk melapor, apakah sistem digitalisasi tidak dapat bekerja mendata otomatis, atau petugas pajak yang melakukannya? Walau bukan pekerjaan sulit, kewajiban melapor adakalanya membuat para wajib pajak merutuk.

- Penyimpangan. Terungkapnya perilaku para mafia pajak, tak pelak meningkatkan ketidakpatuhan warga terhadap kewajiban membayar pajak. Karena kekhawatiran iuran yang semestinya disetorkan ke kas negara digunakan untuk membeli "Rubicon" anak pejabat. Seloroh seperti itu sempat berkembang di tengah masyarakat pada tahun lalu, ketika ramai kasus Mario Dandy. Hasilnya, terlepas terkait langsung atau tidak dengan kasus ini, rasio pajak pada tahun 2023 merosot.

BACA JUGA:Cara Mengatasi Demoralisasi di Tengah Gempuran AI: Peran Pendidikan dan Literasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu langsung turun tangan dan bekerja keras untuk memulihkan kepercayaan publik dengan melakukan bersih-bersih Direktorat Jenderal Pajak, termasuk menjatuhkan sanksi PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) kepada Rafael Alun.

Bila sejumlah kondisi yang menimbulkan syak wasangka publik bahwa terjadi penyimpangan pajak itu dapat diminimalisasi, barangkali menumbuhkan kepatuhan pajak bukan perkara yang terlalu sulit. Mengingat masyarakat kita terkenal sebagai bangsa paling dermawan di dunia, bahkan gelar dari Charities Aid Foundation (CAF) itu disandang Indonesia selama enam kali berturut-turut.

Mungkin, dengan pendekatan yang asyik, kampanye sadar pajak akan berbuah manis. Masyarakat membayar pajak dengan lapang dada bahkan bisa jadi dengan senang hati, seperti halnya saat mengeluarkan sebagian harta untuk bersedekah karena didasari motivasi beramal kebaikan demi kepentingan bersama.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan