Transisi Energi Berkeadilan dalam Perspektif Spiritualitas Keagamaan

Kondisi pencairan es di dekat Kangerlussuaq, Greenland, Selasa (14/9/2021). Peneliti menyatakan lapisan es Greenland mengalami pencairan besar-besaran akibat kenaikan suhu Bumi yang di atas rata-rata. ANTARA FOTO/ REUTERS/Hannibal Hanschke/foc.--

Dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP) 21 di Paris tahun 2015, sebanyak 196 negara setuju bergerak bersama mengatasi masalah iklim. Mereka sepakat menjaga kenaikan suhu Bumi berada di bawah 2 derajat celsius, minimal 1,5 derajat celsius.

Akan tetapi, misi itu gagal dicapai karena pada tahun 2023, kenaikan suhu Bumi pernah sampai lebih dari 2 derajat celsius dan itu menjadi tahun terpanas Bumi. Saat itu kenaikan suhu di planet ini menyentuh angka 2,06 derajat celsius pada tanggal 11 November 2023 berdasarkan data dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa.

Laporan kesenjangan emisi tahunan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang dirilis pada 20 Oktober 2023 menunjukkan bahwa terdapat 86 hari kenaikan suhu Bumi melebihi 1,5 derajat celsius selama tahun 2023 per awal Oktober.

Meskipun angka itu bukan data kenaikan suhu rata-rata Bumi, perubahan iklim yang ekstrem mengindikasikan suhu Bumi tidak makin membaik pada abad ini. Adapun kenaikan suhu rata-rata Bumi sepanjang 2023 diperkirakan pada rentang 1,3 -- 1,4 derajat celsius.

BACA JUGA:Cara Mengatasi Demoralisasi di Tengah Gempuran AI: Peran Pendidikan dan Literasi

Laporan UNEP juga mengungkapkan bahwa pemerintahan di dunia sedang tidak berada di jalur yang tepat dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Bumi bukan lagi berada di kondisi “panas” (global warming), melainkan sudah berada dalam kondisi “mendidih” (global boiling) sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres belum lama ini.

Badai, banjir, hingga peningkatan permukaan laut makin banyak dijumpai akibat perubahan iklim. PBB dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menekankan ke berbagai negara supaya menangani masalah krisis iklim ini secara radikal karena suhu Bumi terus meningkat.

Berdasarkan COP 21 di Paris, negara-negara maju akan membantu negara berkembang untuk mengatasi masalah iklim dengan  pendanaan, pengembangan dan transfer energi, dan pengembangan kapasitas negara-negara berkembang untuk melakukan aksi-aksinya.

Sejak saat itu beberapa negara menetapkan target dan melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi karbon.

BACA JUGA:Membela Calon Generasi Emas dari Ancaman Judi Online

Jepang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 46 persen pada tahun 2030 dan tahun 2050 mencapai netral karbon. Selandia Baru menargetkan emisi karbon sebanyak 50 persen pada tahun 2030 dan bebas emisi sebelum tahun 2050, sedangkan Inggris berambisi untuk bisa mengurangi emisi karbon sebanyak 68 persen pada tahun 2030.

Negara-negara maju harus ikut banyak bertanggung jawab atas anomali iklim ini karena mereka menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di dunia yang bersumber dari batu bara, minyak bumi, gas alam.

Berdasarkan data dari Lembaga Global Carbon Project, sepanjang tahun 2022 terdapat 36,6 gigaton karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Batu bara menjadi penyumbang karbon terbesar, yaitu sekitar 15,1 gigaton polutan atau 41 persen dari jumlah keseluruhan. Urutan kedua yaitu minyak bumi dengan besaran karbon 12,1 gigaton, lalu gas alam dengan besaran karbon 7,9 gigaton, dan terakhir adalah industri semen yang menyumbang 1,5 gigaton karbon.

Adapun negara penyumbang karbon terbesar adalah Tiongkok (11,4 gigaton), Amerika Serikat (5,1 gigaton), India (2,9 gigaton), dan Uni Eropa (2,8 gigaton).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan