Transisi Energi Berkeadilan dalam Perspektif Spiritualitas Keagamaan
Kondisi pencairan es di dekat Kangerlussuaq, Greenland, Selasa (14/9/2021). Peneliti menyatakan lapisan es Greenland mengalami pencairan besar-besaran akibat kenaikan suhu Bumi yang di atas rata-rata. ANTARA FOTO/ REUTERS/Hannibal Hanschke/foc.--
BACA JUGA:Rizal Hadi dan Diplomasi Bambu
Dalam agama Islam, misalnya, memanfaatkan bahan fosil, hukum asalnya adalah boleh, tetapi bila penggunaan bahan bakar fosil ini mendatangkan keburukan--baik karena penambangan atau proses kegunaannya--bagi orang banyak, merusak lingkungan, dan memberikan dampak buruk bagi generasi sesudahnya, maka hukum menggunakan bahan bakar fosil menjadi tidak boleh. Keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, menjadi alasan hukum menggunakan energi fosil menjadi tidak boleh sehingga, beralih ke energi hijau merupakan sebuah keharusan bila ditinjau dari hukum Islam ini.
Demikian juga dalam perspektif Katolik yang berpandangan bahwa Bumi adalah rumah bersama (domus communis) yang harus dijaga. Manusia tidak berhak memboroskan dan merusak alam serta sumber sumbernya dengan alasan apapun. Sejalan dengan perspektif Katolik, Gereja Protestan, berdasarkan HKBP tahun 1996, memutuskan ikut bertanggung jawab menjaga lingkungan, yang telah dieksploitasi umat manusia atas nama pembangunan dan mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan, energi hijau, energi angin.
Pandangan ini juga ada dalam agama Hindu, dalam bahasa Sansakerta berbunyi Vasudhaiva Kutumbhakam, yang artinya “seluruh dunia adalah satu keluarga”. Agama Hindu punya ajaran tentang lima unsur penting yang membentuk lingkungan yaitu Panca Maha Bhuta: Pertiwi (unsur padat/Bumi), Apah (unsur cair/air), Teja (unsur cahaya/api), Bayu (unsur udara), dan Akasa (angkasa/unsur ruang). Lima unsur ini saling berhubungan dan bergantung sehingga ia harus dijaga dengan baik. Konsekuensinya, transisi energi bersih perlu dilakukan untuk menjaga kelima unsur itu tetap seimbang.
BACA JUGA:Mewujudkan Indonesia Bebas Korupsi dari Desa-desa di Perbatasan
Adapun dalam agama Buddha, ekosistem dipandang sebagai sesuatu yang interdependence dan integratif dalam tatanan ekologis yang tidak boleh dieksploitasi. Manusia tidak boleh menganggap alam sebagai objek inferior dan entitas mati, tetapi alam perlu dilihat secara proaktif yang membuat keseimbangan semesta raya.
Etika Buddhis menekankan pada usaha aktif menggunakan sumber daya alam yang terbatas ini dengan bijaksana. Perilaku menjaga alam menjadi salah satu fondasi spiritual dan etika bagi penganut Buddha. Spirit agama ini mendukung transisi energi dari energi kotor ke energi bersih.
Pandangan Khonghucu, tepatnya dalam Kitab Zhong Yong, Nabi memberi tantangan bagi kita sebagai rakyat untuk dapat hidup dalam Tengah Sempurna, “Sungguh sempurna hidup di dalam Tengah Sempurna; sayang sudah lama jarang di antara rakyat yang dapat melaksanakannya!” (Zhong Yong II: 1).
Hidup di dalam Tengah Sempurna adalah melandasi setiap perilaku kita dengan kebajikan yang benih-benihnya sudah dianugerahkan Tian kepada kita, yakni cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, dan iebijaksanaan, serta menjunjung sikap dapat dipercaya.
BACA JUGA:Penolakan RUU Penyiaran dan implikasinya
Dalam kaitan dengan mendukung kegiatan transisi energi, umat Khonghucu sebaiknya mengedepankan kegiatan konservasi energi dan melandasi kegiatan tersebut dengan kesadaran untuk mengembangkan benih-benih kebajikan.
Posisi agama dalam hal ini adalah sebagai pendukung kuat karena aktor utamanya adalah pemerintah dan negara-negara di dunia. Agama dengan spirit yang dikandung di dalamnya menjadi dukungan yang sangat penting dalam menjalankan aksi-aksi iklim serta transisi energi secara berkeadilan dan merata karena sebagian besar umat manusia mengaku berafiliasi dengan agama.
“Perintah agama” punya tempat yang besar di hati pemeluknya sehingga spirit itu bisa menjadi pendorong yang sangat kuat bagi mereka untuk bergerak bersama-sama melakukan perubahan dan mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.
Oleh karena itu, alih-alih mengelola tambang yang justru akan menimbulkan banyak mudarat, lebih baik kelompok religius menginisiasi dan membangun model-model transisi energi yang berkeadilan demi kelestarian alam dan keberlangsungan generasi. (*). (ant)
*) Hening Purwati Parlan