Melawan Hoaks Lewat Filsafat Sebagai Filter Berpikir Rasional
David Karta Sasmita (Dok. Pribadi)--
Filsafat memiliki peran penting dalam mengatasi penyebaran berita hoaks yang sering terjadi di masyarakat Indonesia. Melalui pendekatan kritis dan mendalam, filsafat sebagai suatu disiplin berpikir mampu mengajarkan individu untuk membedakan antara berita hoaks dan fakta, serta bertindak berdasarkan pertimbangan rasional yang jelas. Selain itu, filsafat juga dapat membantu individu dalam membuat keputusan yang tepat dengan merujuk pada data-data faktual. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu memperdalam pemahaman mereka tentang filsafat agar lebih mampu berpikir kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai permasalahan sosial.
Berita hoaks merupakan indikasi degradasi peradaban manusia. Semakin banyak individu yang terjerat atau mengkonsumsi berita hoaks, semakin besar pula kehilangan peradaban yang terjadi. Yang pada akhirnya mengakibatkan tindakan dan keputusan menjadi tidak terkontrol. Keputusan yang didasarkan pada berita hoaks mencerminkan ketidakberadaban pembuat keputusan tersebut. Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan terlebih dahulu konsep masyarakat yang beradab, mengkaji struktur berita hoaks, serta mengajukan argumen bahwa filsafat dapat berfungsi sebagai filter atau alat efektif untuk menangkal penyebaran berita hoaks yang tampak tidak terkendali di masyarakat Indonesia.
Filsafat dalam Perspektif Peradaban Manusia
BACA JUGA:Memeriahkan Semangat Stepa di World Nomad Games
Sekitar 2400 tahun silam, Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Kemampuan menggunakan rasionalitas untuk membuat keputusan dan memahami dunia adalah yang membedakan manusia dari hewan. Sebaliknya, jika manusia tidak mampu atau tidak mau menggunakan akal mereka dalam pengambilan keputusan, maka ia sama saja dengan hewan atau tumbuhan. Manusia menjadi manusia seutuhnya karena kemampuan berpikir dan bertindak sesuai dengan pemahaman yang rasional.
Aristoteles juga menekankan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dipandu dan diutamakan oleh akal yang rasional. Dalam konteks ini, keutamaan mengacu pada sifat-sifat baik yang dimiliki manusia dan diperoleh melalui pembiasaan. Sebagai contoh, seseorang dapat menjadi jujur karena terbiasa berkata dan bertindak jujur, atau seseorang memiliki pengetahuan yang luas dan mengetahui banyak hal karena sering belajar dan menghabiskan waktu dengan membaca buku. Hidup beradab, menurut Aristoteles adalah kehidupan yang dipenuhi oleh keutamaan-keutamaan tersebut.
Apa hubungan antara hidup yang beradab dengan peradaban manusia? Secara sederhana, hidup yang beradab dan berkeutamaan merupakan dasar dari peradaban manusia yang luhur. Peradaban terbentuk ketika sekelompok orang memilih untuk hidup berdasarkan akal dan nilai-nilai kebaikan. Dalam masyarakat yang beradab, kedamaian menjadi ciri khas dalam kehidupan sehari-hari, sementara keadilan dan kebenaran lebih mendominasi dibandingkan dengan kejahatan dan kemunafikan.
BACA JUGA:Transisi Energi Berkeadilan dalam Perspektif Spiritualitas Keagamaan
Saat ini di Indonesia sikap beradab terancam oleh mentalitas dan budaya yang memaklumi penyebaran berita hoaks karena malas-nya menggunakan akal ketika menerima informasi yang merusak. Orang cenderung lebih mudah mempercayai berita hoaks daripada menggunakan akal untuk berpikir kritis dan membuat keputusan. Kemalasan dan kebodohan menghambat penggunaan akal sehingga memperparah situasi ini.
Struktur Berita Hoaks
Mengapa dan dari mana berita hoaks muncul? Menjawab pertanyaan ini dengan tepat merupakan tantangan yang kompleks. Namun, pandangan Francis Bacon, seorang filsuf Inggris dari abad ke-17, dapat membantu kita memahami struktur berita hoaks. Meskipun Bacon tidak secara eksplisit membahas berita hoaks, karena pada masanya istilah tersebut belum populer dan kompleks seperti saat ini, pandangannya tentang pengetahuan, kebenaran, dan penyebaran informasi tetap relevan dalam konteks berita hoaks. Bacon berpendapat bahwa dalam proses pencarian kebenaran, manusia seringkali terhalang oleh konsep "idola" yang mengaburkan pandangan dan pikiran manusia terhadap kebenaran.
Dalam karyanya "Novum Organum" Bacon menjelaskan berbagai jenis bias dan kesalahan dapat menghalangi manusia dalam mencapai pengetahuan yang benar. Idola Tribus merupakan salah satu dari empat "idola" yang dirumuskan oleh Bacon, menggambarkan kecenderungan manusia untuk mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan atau harapan pribadi. Meskipun kebenarannya lebih kompleks daripada yang sebenarnya ada. Sebagai contoh, propaganda yang disebarkan oleh pemerintah Nazi Jerman selama Perang Dunia II menciptakan ilusi bahwa Jerman sedang menuju kejayaan dan kemakmuran di bawah rezim totaliter. Padahal kenyataannya negara tersebut terlibat dalam kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang masif. Idola Tribus ini mengaburkan pandangan dan pikiran masyarakat terhadap kebenaran, membuat mereka mempercayai narasi yang menyimpang dari realitas sebenarnya.
BACA JUGA:Cara Mengatasi Demoralisasi di Tengah Gempuran AI: Peran Pendidikan dan Literasi
Setelah menjelaskan makna dari Idola Tribus, Bacon juga merumuskan idola selanjutnya yaitu Idola Specus. Idola Specus sering dimaknai sebagai kecenderungan seseorang untuk menilai orang lain atau suatu peristiwa berdasarkan sentimen pribadi daripada menggunakan kejernihan akal. Sebagai contoh, seorang guru yang memiliki favoritisme terhadap salah satu siswa dengan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada siswa lain hanya karena siswa tersebut mengikuti program les di luar sekolah yang diadakan sendiri oleh guru tersebut meskipun prestasi akademisnya tidak sebaik siswa lain. Dalam Idola Specus, preferensi pribadi guru tersebut lebih mempengaruhi penilaian daripada fakta objektif dan evaluasi yang adil. Idola Specus ini juga menjauhkan manusia dari kebenaran.