Melawan Hoaks Lewat Filsafat Sebagai Filter Berpikir Rasional

David Karta Sasmita (Dok. Pribadi)--

Dalam proses pencarian kebenaran, Bacon juga merumuskan Idola Fori, yaitu kebingungan yang terjadi akibat ketidakpahaman terhadap makna bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Akibatnya, individu terjebak dalam kesalahpahaman. Bahasa merupakan elemen kunci dalam komunikasi. Jika seseorang tidak mampu menggunakan atau memahami bahasa dengan tepat, maka komunikasi untuk mencapai kesepakatan akan sulit tercapai. Hal ini mengakibatkan kebenaran semakin jauh dari jangkauan. Sebagai contoh, dalam penyebaran berita hoaks seringkali menyebar melalui penggunaan basaha dan pemilihan kata yang memenipulasi emosi dan persepsi publik dengan memenggal kalimat bernada sinis untuk judul sebuah artikel atau berita. Terkadang judul dan isi tidak saling melengkapi satu sama lain adalah jurus jitu untuk mengaburkan pandangan publik terhadap esensi yang ingin disampaikan.

Selanjutnya, Bacon merumuskan konsep Idola Theatri, yaitu struktur pemikiran atau teori yang terbentuk dari pendekatan yang tidak tepat. Sebagai contoh, keyakinan bahwa semua ulama cenderung memiliki istri lebih dari satu . Keyakinan semacam ini didasarkan pada pandangan yang bias dan mengabaikan fakta bahwa banyak ulama yang setia kepada pasangannya dan hanya memiliki satu istri. Idola Theatri ini menghalangi manusia dalam mencapai kebenaran.

BACA JUGA:Menghidupkan Semangat Baru: MPLS yang Edukatif, Berkesan dan Inspiratif

Konsep idola yang ditemukan oleh Bacon membatasi dirinya pada perumusan metode ilmiah yang dapat menjamin kebenaran pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bacon, seorang ilmuwan harus membersihkan dirinya dari idola-idola yang menghalangi pikiran untuk mencapai kebenaran. Namun, saya berpendapat bahwa argumen Bacon tidak hanya relevan bagi para ilmuwan, tetapi juga bagi semua orang, terutama mereka yang pikiran dan tindakannya sering terpengaruh oleh berita hoaks, sehingga mereka tidak mampu menemukan kebenaran. Oleh karena itu, mereka perlu membersihkan pikiran mereka dari idola-idola tersebut.

Filsafat sebagai Filter Berita Hoaks

Filsafat sebagai disiplin yang mengedepankan pemikiran kritis, rasional, dan mendalam, dapat memberikan beberapa panduan praktis untuk menangkal penyebaran berita hoaks. Pertama adalah berpikir skeptis, yaitu bersikap curiga terhadap semua bentuk pernyataan sampai kebenarannya terbukti tak terbantahkan. Dalam filsafat, skeptisisme adalah pandangan bahwa manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati. Namun, saya tidak bermaksud untuk menganut pandangan yang begitu radikal. Cukup dikatakan bahwa setiap individu harus bersikap skeptis terhadap informasi yang ditemuinya sampai ia benar-benar yakin bahwa informasi tersebut adalah benar.Kedua adalah berpikir berdasarkan prinsip verifikasi. Prinsip ini dikembangkan secara sistematis oleh para filsuf positivisme logis pada awal abad ke-20. Intinya sangat sederhana: hanya pernyataan yang dapat diuji dalam kenyataan yang layak menjadi dasar pengetahuan. Dengan kata lain, sebuah pernyataan dianggap benar jika terdapat bukti konkret yang dapat diketahui oleh panca indera manusia.

BACA JUGA:Menyiapkan SDM Andal Penopang Pembangunan IKN

Jika diterapkan dengan tepat, prinsip verifikasi dapat mencegah kita dari mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa. Prinsip ini mendorong objektivitas dalam pengambilan keputusan. Apabila seseorang menerapkan prinsip ini dalam kehidupannya, ia tidak akan terpengaruh oleh berita hoaks. Prinsip ini dapat berfungsi sebagai obat yang efektif untuk menangkal pesebaran berita hoaks. Dengan mempelajari filsafat diharapkan kita dapat mendeteksi berita yang mengandung hoaks yang mungkin telah lama ada dalam pikiran tanpa kita sadari, dan melalui filsafat kita dapat membentuk masyarakat yang beradab yang didasarkan pada akal budi untuk memeriksa setiap pernyataan secara tepat dan rasional.

Pada akhirnya, kehidupan manusia hanya akan bernilai dan bermakna jika diarahkan untuk mencapai kebenaran. Dalam kebenaran manusia akan menemukan kebahagiaan sejati. Meskipun kebenaran mungkin awalnya menyakitkan, secara perlahan kebenaran akan menumbuhkan kesadaran kita sebagai manusia yang otentik. Sikap hidup semacam ini semakin jarang ditemukan dalam masyarakat kita saat ini. (*)

Oleh: David Karta Sasmita (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Batik Surakarta)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan