Insentif Pajak Hijau untuk Ekonomi Berkelanjutan

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq (tengah), Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (kedua kiri), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar (kiri), dan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman (kedua kanan) -Muhammad Ramdan/rwa-ANTARA FOTO

Kebijakan pajak merupakan alat yang efektif bagi pemerintah untuk mempengaruhi perilaku ekonomi, termasuk dalam mendorong investasi hijau dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Di banyak negara, insentif pajak sering digunakan untuk merangsang investasi yang lebih ramah lingkungan dan mendukung transisi menuju ekonomi berkelanjutan. Namun, terdapat tantangan dalam implementasi insentif pajak ini, terutama ketika kebijakan tersebut justru lebih banyak memberikan manfaat bagi sektor yang mencemari dibandingkan sektor hijau.

Kebijakan insentif pajak telah diterapkan dalam berbagai bentuk di Indonesia untuk mendorong investasi hijau, termasuk insentif Pajak Penghasilan Badan (Corporate Income Tax/CIT) yang diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan.

Namun, apakah kebijakan ini telah berjalan efektif, atau masih terdapat inkonsistensi dalam penerapannya? Bagaimana insentif pajak dapat digunakan untuk mendukung transisi ekonomi hijau di Indonesia, dengan mempertimbangkan pengalaman global serta tantangan yang dihadapi dalam implementasi di tingkat domestik.

BACA JUGA:Tuntutan Regulasi Baru Ojol Cermin

Menurut Kronfol dan Sandoval (2025), insentif pajak untuk investasi hijau dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis utama.

Pertama, Insentif Berorientasi Sektor Hijau. Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam produk-produk ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik dan energi terbarukan.

Kedua, Insentif Berorientasi Proses Hijau. Insentif ini bertujuan mendorong perusahaan untuk mengadopsi proses produksi yang lebih ramah lingkungan, misalnya melalui penggunaan energi bersih dan praktik daur ulang.

Ketiga, Insentif untuk Sektor yang Mencemari. Insentif ini diberikan kepada industri yang memiliki dampak lingkungan negatif, seperti sektor bahan bakar fosil dan pertambangan, yang dapat menghambat upaya transisi hijau.

BACA JUGA:Retret Kepala Daerah 2025: Menyelaraskan Visi Presiden

Sayangnya, banyak negara, termasuk Indonesia, masih menawarkan insentif bagi industri yang mencemari lingkungan, yang justru bertentangan dengan kebijakan keberlanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan insentif pajak agar dapat lebih mendukung investasi hijau.

Beberapa negara telah berhasil menerapkan kebijakan pajak perusahaan untuk mendorong ekonomi hijau. Jerman telah menerapkan sistem pajak karbon dan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam energi terbarukan (OECD, 2023). Hasilnya, pada tahun 2022, lebih dari 46 persen konsumsi listrik Jerman berasal dari energi terbarukan (Bundesnetzagentur, 2023).

Swedia menerapkan pajak karbon sejak 1991, yang mendorong perusahaan mengurangi emisi dan beralih ke energi bersih. Pendapatan dari pajak ini digunakan untuk mendanai subsidi energi terbarukan, yang menyebabkan penurunan emisi karbon hingga 25 persen dalam dua dekade (IMF, 2023).

Kanada memiliki sistem harga karbon yang ketat dan memberikan keringanan pajak bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi rendah karbon. Kebijakan ini mendorong inovasi dan pertumbuhan sektor energi bersih, yang pada tahun 2023 menciptakan lebih dari 300.000 lapangan kerja baru (World Bank, 2023).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan