Tuntutan Regulasi Baru Ojol Cermin "Gig Economy" di Ujung Revolusi

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kelima kanan) didampingi Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (keenam kanan) dan Staf Khusus Menaker Indra MH (ketiga kanan) berdialog dengan sejumlah pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Serikat Pekerja-RENO ESNIR-ANTARA FOTO

Meskipun menawarkan peluang ekonomi yang lebih luas, gig economy faktanya banyak menimbulkan tantangan terkait kesejahteraan pekerja, regulasi, dan stabilitas industri.

Gig economy yang merupakan sistem ekonomi yang berbasis pekerjaan fleksibel, di mana individu bekerja secara independen atau sebagai mitra tanpa terikat kontrak kerja jangka panjang dengan perusahaan, banyak diterapkan dalam sektor transportasi daring, jasa pengiriman, dan pekerjaan lepas.

Konsep ini memang memberikan fleksibilitas bagi pekerja, tetapi seringkali mengorbankan kepastian pendapatan serta perlindungan ketenagakerjaan.

Di Indonesia sendiri, gig economy tanpa disadari sedang menjadi polemik. Ini tercermin dalam dunia ojek online (ojol) yang dalam satu dekade terakhir menjadi salah satu tulang punggung instrumen mobilitas masyarakat, khususnya di kota-kota besar.

BACA JUGA:Retret Kepala Daerah 2025: Menyelaraskan Visi Presiden

Puluhan pengemudi ojol melakukan aksi demonstrasi di Kantor Kemnaker pada Senin 17 Februari. Mereka turun ke jalan dan melakukan mogok kerja untuk menuntut regulasi yang adil dan berpihak, termasuk menuntut adanya tunjangan hari raya (THR) untuk mereka.

Pemerintah merespons dengan melemparkan wacana untuk mengubah status pengemudi ojek online dari mitra menjadi pekerja. Ini semakin menandai babak baru dalam regulasi ekonomi gig di Indonesia.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan telah menegaskan bahwa salah satu perhatian khusus Kemnaker saat ini adalah membuat dan memperkuat payung hukum bagi para pekerja angkutan daring ini.

Kementerian itu, ke depan akan membuat regulasi terkait posisi hukum mereka, bahwa status mereka adalah sebagai pekerja, bukan mitra. Penegasan posisi hukum Itu sangat penting dan kini menjadi kajian dari kementerian tersebut.

BACA JUGA:Belajar Sejarah Negara di Asia untuk Antisipasi Dampak #KaburAjaDulu

Itu mengingat skema kemitraan yang selama ini berlaku berbasis pada konsep gig economy yang memberikan fleksibilitas, tetapi juga menimbulkan banyak tantangan terkait kesejahteraan pekerja.

Jika wacana perubahan regulasi terkait ojol ini diterapkan, implikasinya akan luas, tidak hanya bagi pengemudi, tetapi juga bagi platform ride-hailing, konsumen, dan ekosistem transportasi secara keseluruhan.

Dalam sistem kemitraan saat ini, pengemudi ojol dianggap sebagai individu yang bekerja secara mandiri, tanpa hubungan ketenagakerjaan langsung dengan perusahaan aplikasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, perusahaan hanya wajib memberikan THR kepada pekerja yang setidaknya memiliki hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWTT). Pengemudi online tidak dianggap wajib mendapat THR karena memiliki hubungan kerja kemitraan dengan perusahaan aplikasi.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan