Tuntutan Regulasi Baru Ojol Cermin "Gig Economy" di Ujung Revolusi

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kelima kanan) didampingi Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (keenam kanan) dan Staf Khusus Menaker Indra MH (ketiga kanan) berdialog dengan sejumlah pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Serikat Pekerja-RENO ESNIR-ANTARA FOTO

Dengan demikian, harga bisa tetap kompetitif saat permintaan rendah, tetapi naik saat permintaan tinggi, tanpa membebani konsumen secara berlebihan.

BACA JUGA:Pangkas Anggaran Rp306 Triliun, Indonesia Belajar dari Pengalaman Negara Lain

Dari perspektif pengemudi, perubahan status ini tidak hanya memberikan jaminan finansial, tetapi juga meningkatkan posisi tawar mereka dalam industri ini.

Sebagaimana Menaker sampaikan bahwa isu tentang ojol bukan sebatas pemberian THR, melainkan kepastian regulasi dan hukum untuk menjamin hak dan kesejahteraan selayaknya pekerja.

Selama ini, banyak pengemudi mengeluhkan sistem suspend yang seringkali tidak transparan dan pemotongan komisi yang terus meningkat. Dengan status pekerja, mereka memiliki perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap praktik-praktik semacam itu.

Lebih jauh, jika diterapkan dengan pendekatan yang tepat, regulasi ini bisa membuka peluang bagi pengemudi untuk mendapatkan pelatihan keterampilan tambahan yang bisa meningkatkan mobilitas ekonomi mereka dalam jangka panjang.

Namun, di sisi lain, ada tantangan bagi perusahaan aplikasi. Dengan meningkatnya biaya tenaga kerja akibat perubahan ini, perusahaan perlu mencari cara untuk menjaga efisiensi dan profitabilitas.

BACA JUGA:Efisiensi Anggaran, Distorsi, dan Prioritas Kebijakan

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah diversifikasi layanan, seperti yang telah dilakukan oleh Gojek dan Grab melalui ekspansi ke sektor keuangan, logistik, dan belanja daring. Dengan demikian, beban biaya tenaga kerja bisa tersebar lebih merata ke berbagai sumber pendapatan.

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk juga sudah buka suara soal polemik yang terjadi. Pada intinya perusahaan memiliki kapasitas dan kemampuan yang ada batasnya. Meskipun begitu, mereka tetap memiliki itikad yang baik untuk membahas persoalan itu dengan pemerintah.

Kemampuan perusahaan juga harus tetap menjadi bahan pertimbangan sebab sebagaimana pengalaman di Spanyol, beberapa perusahaan, bahkan menghentikan layanan mereka akibat meningkatnya biaya operasional.

Ke depan diperlukan regulasi yang juga memungkinkan pemerintah untuk memperkuat pengawasan terhadap implementasi aturan ketenagakerjaan di sektor gig economy.

BACA JUGA:Paradoks Efisiensi Anggaran di Era Kabinet Merah Putih

Kasus di Amerika Serikat, misalnya, menunjukkan bahwa beberapa perusahaan tetap mencari celah hukum untuk menghindari pengeluaran tambahan terkait perubahan status pekerja.

Misalnya, di California, Uber dan Lyft mendorong pengesahan Proposition 22 pada tahun 2020, yang memungkinkan mereka tetap mengklasifikasikan pengemudi sebagai kontraktor independen, meskipun undang-undang AB5 mengharuskan mereka untuk dikategorikan sebagai pekerja tetap.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan