Tuntutan Regulasi Baru Ojol Cermin "Gig Economy" di Ujung Revolusi

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kelima kanan) didampingi Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (keenam kanan) dan Staf Khusus Menaker Indra MH (ketiga kanan) berdialog dengan sejumlah pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Serikat Pekerja-RENO ESNIR-ANTARA FOTO
BACA JUGA:Sawah Pokok Murah ala Djoni untuk Kesejahteraan Petani
Hal ini berarti mereka juga tidak memiliki hak atas gaji tetap atau perlindungan ketenagakerjaan yang sama dengan karyawan tetap di sektor formal.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli terus berkomunikasi dengan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) untuk melihat bagaimana pandangan negara-negara lain soal pekerja layanan berbasis aplikasi, seperti pengemudi ojol.
Berkaca pada fenomena serupa di luar negeri, keputusan Mahkamah Agung Inggris pada Februari 2021 mengharuskan Uber memberikan hak-hak pekerja bagi pengemudinya. Uber kemudian mengklasifikasikan lebih dari 70.000 pengemudinya sebagai pekerja setelah keputusan hukum.
Sementara di Spanyol ada implementasi "Rider Law" pada Mei 2021. Ini menunjukkan ada tren global menuju perlindungan lebih besar bagi pekerja sektor gig economy.
BACA JUGA:Saprahan Khatulistiwa 2025 Integrasikan Tradisi dan Digitalisasi
Memang dengan perubahan status menjadi pekerja, pengemudi akan memiliki hak atas gaji tetap, tunjangan kesehatan, jaminan sosial tenaga kerja, serta perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Selain itu, mereka juga berhak atas cuti berbayar dan jaminan kecelakaan kerja, yang saat ini hanya bersifat sukarela.
Kepastian regulasi
Mengacu pada pengalaman di negara lain, seperti Spanyol dan Inggris, perubahan status ini berujung pada peningkatan biaya operasional platform, yang sebagian besar kemudian dibebankan kepada konsumen.
Berdasarkan laporan dari Financial Times, setelah Spanyol menerapkan Rider Law pada Mei 2021, tarif layanan ride-hailing di negara tersebut meningkat hingga 15-20 persen karena platform harus menyesuaikan dengan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi.
BACA JUGA:Terapi Cinta Kasih Dalam Paradigma Kesehatan Modern
Di Inggris, laporan The Guardian menyebutkan bahwa Uber menaikkan harga perjalanan sekitar 10 persen pada tahun 2021 setelah pengemudi diklasifikasikan sebagai pekerja dengan hak-hak ketenagakerjaan penuh, termasuk upah minimum dan cuti berbayar.
Jika skenario serupa terjadi di Indonesia, kemungkinan besar tarif ojol juga akan mengalami kenaikan yang signifikan.
Meskipun demikian, peningkatan tarif bukan berarti kehilangan pasar. Sebaliknya, jika dikemas dengan baik, ini bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas layanan dan menarik segmen konsumen yang lebih luas.
Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah segmentasi tarif berdasarkan waktu dan lokasi, mirip dengan model dinamis yang sudah diterapkan Uber di beberapa negara.