Era Baru, Guru Kembali ke Hulu

Kamis 05 Dec 2024 - 21:16 WIB
Oleh: Ribut Nur Huda

Beberapa hari yang lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyampaikan kejutan untuk para guru, yaitu rencana kenaikan gaji dan tunjangan pada tahun 2025 serta pengurangan beban guru, terutama beban tugas administrasi.

Semakin meyakinkan dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam acara Hari Guru Nasional di Velodrome, Jakarta Timur, Kamis 28 November bahwa gaji dan tunjangan guru non-ASN akan naik sebesar satu kali gaji pokok dengan anggaran pendidikan yang naik menjadi Rp81,6 triliun pada tahun 2025.

Kejutan ini disinyalir dapat meningkatkan rasa tanggung jawab guru sebagai penggerak generasi emas Indonesia sesuai jargon "Guru hebat, Indonesia kuat".

Guru didorong menjadi hebat sebagai jantung pendidikan, bukan sekadar pelaksana kurikulum. Guru bukan "otak", melainkan "jantung" dari pendidikan itu sendiri. Tanpa jantung, manusia hanyalah mayat yang sudah tidak bernafas. Tidak berlebihan jika guru disebut sebagai nafas peradaban.

BACA JUGA:Melihat Layanan Pengaduan di OJK

Ini juga tercermin dari ungkapan Presiden Prabowo bahwa guru adalah kunci untuk kebangkitan dan tonggak bagi berdirinya sebuah negara. Ini pertanda bahwa Presiden Prabowo merupakan negarawan yang tulus menghargai jasa para "pahlawan tanpa tanda jasa" itu.

Di tengah krisis moral yang menghantui anak-anak muda, institusi pendidikan dituntut menyiapkan generasi yang tidak mati nalar dan juga tidak mati rasa. Jangan sampai manusia mendatang gagal menemukan jati dirinya sebagai entitas rohani.

Kemudahan akses komunikasi dan transportasi tidak menjamin kebersamaan dan semangat gotong royong. Kesenjangan juga menganga dan banyak kelompok lemah yang semakin lemah. Sikap apatis orang-orang yang berpendidikan dan berkecukupan terhadap pihak-pihak yang lemah ini ikut melanggengkan ketertinggalan.

Hal ini bagian dari tantangan guru dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa menomorduakan tugas mempersiapkan sumber daya manusia yang berbudi pekerti. Nilai yang dimaksud ini sudah paten dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Adab lebih tinggi dari hukum.

BACA JUGA:Sinergi Fiskal untuk Optimalisasi Pembangunan Nasional

Di sisi lain, dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum yang diwariskan oleh Belanda masih menjadi tantangan serius dunia pendidikan kita. Padahal, sebagai negara yang berketuhanan, Indonesia bukan negara ateis yang mengabaikan dimensi ketuhanan.

Pancasila telah mencerminkan integrasi ilmu pengetahuan, karena kedua bentuk ilmu pengetahuan ini merupakan ayat-ayat Tuhan yang tidak mengabaikan dimensi kemanusiaan. Ini tersirat dalam pesan al-Qur’an bahwa perintah membaca juga diiringi dengan menyebut nama Tuhan.

Oleh karena itu, guru sebagai pencerah dan pengajar ilmu apa pun harus diapresiasi atas kedudukannya sebagai manusia mulia, bukan dibebani dengan tugas-tugas yang tidak perlu. Tentu ilmu yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah ilmu yang manfaat dan sesuai tingkatan masing-masing peserta didik.

Dalam lingkup yang lebih luas, guru adalah teladan masyarakat dan penyambung peradaban bangsa. Peradaban dimaksud adalah nilai-nilai yang berakar dari sejarah bangsa Indonesia dan diwariskan oleh para leluhur maupun pendiri bangsa Indonesia ini secara turun temurun, seperti nilai tenggang rasa dan spirit gotong royong.

BACA JUGA:Kemenangan Kotak Kosong, di Antara Kepedulian dan Perlawanan Rakyat

Kategori :