Ilmuwan terkemuka Imam Syafi’i menyebut bahwa pondasi marwah seseorang adalah adab, kedermawanan, kerendahan hati dan keseriusan beribadah. Tentunya, pondasi ini tidak boleh hilang dari seorang guru, meskipun seandainya ekonominya serba kekurangan.
Tempo dulu, guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ini bukan sekadar slogan. Presiden Prabowo memberi kesempatan untuk kembali kepada jati diri bangsa melalui sejarah dan peningkatan taraf hidup para guru agar guru bisa lebih berkonsentrasi dengan tugasnya tanpa ada celah untuk dipandang sebelah mata.
Dalam mengabdi pada upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045, guru juga tidak lepas dari urusannya sebagai tulang punggung keluarga. Ini adalah catatan penting.
Jika dokter sebagai unsur utama sebuah bangsa dihargai mahal sebagai tanda atas jasanya, maka guru yang menyiapkan generasi bangsa, termasuk para dokter itu sendiri, perlu mendapatkan penghargaan.
BACA JUGA:Polri dalam Arsitektur Negara Demokrasi Modern
Kisah perjuangan seorang guru honorer dari salah satu madrasah di Kota Sukabumi yang menjalani aktivitas sepulang mengajar sebagai pemulung sampah untuk mencukupi kebutuhan ekonominya telah banyak menginspirasi. Tentunya masih banyak guru yang hidup dalam kondisi serba kekurangan dan belum tersentuh oleh media.
Guru sebagai pendidik, tugas utamanya mendidik, bukan hanya mengajar. Wajar jika Mendikdasmen memperbanyak pelatihan guru di tahun 2025 dalam rangka membangun kesadaran baru dan menyegarkan kembali kompetensi guru.
Menjadi guru tidak cukup hanya menguasai materi pelajaran, tetapi harus bisa dipercaya, dipatuhi dan diteladani perilakunya. Jika seorang guru telah gagal memberikan keteladanan, maka peran sejati seorang guru sebenarnya telah habis alias game over.
Jika mayoritas guru yang ada dalam sebuah institusi pendidikan gagal menjadi teladan, maka ibarat manusia, lembaga pendidikan itu sudah kehilangan jantungnya. Sebaliknya, jika institusi pendidikan berhasil merawat guru-guru yang berkarakter, bisa digugu dan ditiru, maka tujuan utama pendidikan untuk memajukan budi pekerti peserta didik telah terpenuhi.
BACA JUGA:Awas Polarisasi di Sekitar Anda! (Catatan Perjalanan Program APS 2024)
Guru membawa mandat para Nabi dan utusan Tuhan dalam menyampaikan risalah ketuhanan dan kemanusiaan. Jadi guru layak disebut sebagai jantung peradaban, bukan hanya sebagai jantung pendidikan.
Kerusakan alam dan tatanan sosial di Bumi ini tidak lepas dari pengaruh manusia-manusia yang gagal dalam meneguk saripati pendidikan. Jika mereka berhasil dalam pendidikan, maka kelak ia menjadi manusia yang memiliki akar budaya religius dan nasionalis sekaligus.
Presiden Prabowo tampaknya hendak mengajak anak bangsa kembali ke hulu, asal dan akar karakter bangsa Indonesia. Dengan semangat membaca perjuangan leluhur bangsa dalam meraih kemerdekaan, Presiden mengajak kembali kepada jati diri bangsa, dimana bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan bermartabat. Kembali ke akar, dalam hal ini tentu tidak hanya kembali kepada jati diri, melainkan juga mengambil pelajaran dari sejarah bangsa untuk kemajuan di masa mendatang.
Sebagai jantung peradaban, guru dipandang mulia, tidak hanya di dalam institusi pendidikannya, melainkan juga di lingkungan masyarakatnya. Guru di mata masyarakat bukan hanya dianggap sebagai profesi, melainkan juga dipandang sebagai pengabdi. Dua status berbeda yang akan berbenturan dalam hal pendapat dan pendapatan sekaligus.
BACA JUGA:Idealisme di Tengah Kepungan Pragmatisme
Guru yang memiliki mentalitas sebagai pekerja dan mengharapkan imbalan yang setimpal atas pekerjaannya sebagai guru akan rentan kecewa. Mereka menjadi tidak tulus saat mengajar dan mendidik murid-muridnya.