SEHARI pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), DPR dengan cepat mengadakan rapat panja pembahasan RUU Pilkada. Sehari sebelumnya MK mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 berkaitan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah.
Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan, Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Pasal yang dibatalkan oleh MK semula menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Putusan MK tersebut telah mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik menyesuaikan persentase persyaratan seperti pada angka persentase pencalonan perseorangan. Persentase persyaratan dukungan perolehan suara menjadi 6,5% sampai 10% sesuai dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap.
BACA JUGA:Siapapun Pemenangnya, Pilkada 2024 akan Cetak Sejarah Baru di Belitung Timur
Putusan MK tersebut selaras dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan secara demokratis. Pemaknaan kata secara demokratis memang dapat dimaknai dengan pemilihan yang dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung (perwakilan). Tetapi, pada saat ini makna pemilihan dilaksanakan secara demokratis dimaknai sebagai bentuk pemilihan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Salah satu pertimbangan MK berkaitan dengan pemaknaan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis tersebut dengan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal. Hal demikian menurut MK apabila dibiarkan berlakunya norma pasal tersebut secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat.
Antara Putusan MK dan MA
Rapat panja pembahasan RUU Pilkada di DPR menarik dicermati berkaitan tindak lanjut Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai penghitungan batas usia minimal calon kepala daerah. Perdebatan muncul karena ada perbedaan putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang dijadikan dalil. Putusan MA Nomor 23P/Hum/2024 pada intinya memutuskan syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pelantikan calon terpilih. Sementara Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 pada pokoknya syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon. Atas hal tersebut, Panja DPR memutuskan menggunakan penghitungan usia sesuai putusan MA dan mengabaikan pertimbangan putusan MK.
BACA JUGA:Bersiap dengan Aturan Baru Pajak Kripto
Putusan MA Nomor 23P/Hum/2024 merupakan pengujian Pasal 4 ayat (1) PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang sejatinya peraturan di bawah undang-undang. Sementara Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, seyogianya DPR mengikuti pengujian peraturan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang, bukan pengujian atas peraturan KPU untuk menentukan norma dalam RUU Pilkada.
Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi salah satunya adalah tindak lanjut atas putusan MK. Sehingga tidak ada alasan bagi DPR untuk tidak menindaklanjuti putusan MK. Terlebih UUD NRI 1945 secara jelas menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Tindak Lanjut KPU
Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara? Tidak ada pilihan lain kecuali menindaklanjuti putusan MK. Sebab, putusan MK bersifat final. Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 jelas memberikan kewenangan kepada KPU untuk mengatur penyelenggaraan pemilihan dengan peraturan KPU. Dengan demikian, tidak perlu ada keraguan bagi KPU untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut dengan menerbitkan peraturan KPU yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon.
BACA JUGA:Kiprah Bahlil dari Investasi ke ESDM
Pilkada merupakan salah satu bagian terpenting dari pengembangan demokrasi di Indonesia di samping pemilu legislatif dan pemilu presiden. Demokrasi merupakan kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Hal itu membutuhkan kedewasaan berpolitik serta sarana dan prasarana pendukung yang mumpuni. Demokrasi merupakan proses untuk menuju peradaban yang lebih baik. Oleh karena itu, membangun demokrasi sama dengan membangun peradaban itu sendiri. Sekarang ini, demokrasi menjadi populer dan hampir diterima secara universal karena dianggap sebagai sistem politik yang paling baik dalam memajukan kemanusiaan.+