BELITONGEKSPRES.COM - Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi produsen anoda baterai terbesar kedua di dunia.
Klaim ini didasarkan pada rencana pembangunan pabrik anoda di Kendal, yang diperkirakan akan mengungguli kapasitas produksi Tiongkok, pusat utama produksi mobil listrik global.
Pabrik ini, yang direncanakan memiliki kapasitas produksi 180 ribu ton, akan memproduksi anoda, salah satu komponen penting dalam baterai mobil listrik.
Saat ini, Tiongkok memproduksi sekitar 100 ribu ton anoda. Pada fase pertama pembangunan, pabrik yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya mencapai kapasitas 80 ribu ton, cukup untuk memproduksi 1,5 juta mobil listrik.
BACA JUGA:Airlangga Hartarto Tekankan Pentingnya Investasi SDM Menuju Indonesia Emas 2045
BACA JUGA:PUPR Sebut Pembentukan Satgas Percepatan Investasi untuk Akselerasi IKN
Luhut menjelaskan bahwa fase kedua pembangunan pabrik di Kendal akan dimulai pada awal kuartal IV tahun ini dan diperkirakan selesai pada 1 Maret 2025, dengan kapasitas total 180 ribu ton. Dengan pencapaian ini, Indonesia akan menyalip Tiongkok dalam hal kapasitas produksi anoda baterai.
Sebagai perbandingan, Jepang hanya memiliki kapasitas produksi anoda sebesar 10 ribu ton, Korea Selatan 40 ribu ton, sedangkan pabrik terbesar di Tiongkok saat ini memproduksi 100 ribu ton. "Dengan kapasitas ini, kita akan melampaui Tiongkok dalam waktu dekat," ungkap Luhut.
Pabrik bahan anoda baterai litium PT Indonesia BTR New Energy Material di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, Jawa Tengah, diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Rabu, 7 Agustus.
Presiden mengapresiasi peresmian pabrik ini sebagai langkah penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.
BACA JUGA:Tokopedia Dorong UMKM Lokal dengan Program ShopTokopedia dan Kampanye 'Beli Lokal'
BACA JUGA:BI Sebut Perekonomian Indonesia Tumbuh Stabil di Tengah Ketidakpastian Global
"Saya sangat mengapresiasi pembangunan pabrik ini. Ini adalah langkah besar dalam mewujudkan ekosistem mobil listrik yang terintegrasi dan kuat," kata Presiden.
Presiden juga mencatat bahwa rencana pembangunan ekosistem kendaraan listrik yang dimulai beberapa tahun lalu kini menunjukkan hasil yang signifikan, meskipun ada tantangan awal seperti larangan ekspor nikel yang memicu pro dan kontra serta gugatan dari Uni Eropa.
"Ekspor nikel kita sekarang bernilai USD 34 miliar, meningkat dari Rp 33 triliun menjadi sekitar Rp 510 triliun. Ini adalah lonjakan besar meskipun awalnya banyak yang menentang keputusan tersebut," jelas Presiden. (jpc)