Fakta Ironis
Menurut Andi Kusumah, keputusan ini sangat ironis. Pasalnya, selama bekerja sama dengan PT Timah, Awi tidak pernah melakukan aktivitas penambangan. Perannya terbatas pada pengelolaan atau "upah lebur" dalam proses penglogaman timah. Awi pun selalu mematuhi komitmen yang telah disepakati dengan PT Timah.
"Ironisnya, dari upah kerja sebesar Rp2,2 triliun, justru itulah yang harus dikembalikan sebagai uang pengganti," ujar Andi Kusumah menyoroti ketidaksesuaian keputusan tersebut.
BACA JUGA:Oknum Aparat Disebut Terlibat Penyelundupan Timah, Ini Respon Polres Belitung
Kasus ini menimbulkan perdebatan di kalangan hukum, mengingat keputusan pengadilan dianggap tidak sebanding dengan peran Awi dalam tata niaga timah.
Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara: BPK atau Ahli?
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Romli Atmasasmita, menegaskan bahwa penghitungan kerugian negara seharusnya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pernyataan ini disampaikan dalam kesaksiannya pada salah satu sidang perkara terkait tata niaga timah.
Pandangan ini bertentangan dengan klaim Prof Bambang Hero Saharjo, yang menyatakan dirinya memiliki kompetensi untuk menghitung kerugian.
Selain itu, nama Bambang Hero bukan pertama kalinya menjadi sorotan akibat hasil kajiannya. Sebelumnya, warga Bangka Belitung telah melakukan unjuk rasa dan gugatan atas kajian kerugian lingkungan yang ia lakukan.
BACA JUGA:Korupsi Komoditas Timah Babel: Kejagung Periksa 2 Karyawan PT Timah
Metode Penghitungan yang Dipertanyakan
Metode penghitungan kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus timah oleh Bambang Hero dinilai tidak jelas dan dipertanyakan akurasinya. Bahkan, hasil hitungan tersebut langsung diadopsi oleh BPKP tanpa melalui proses pengecekan atau audit ulang.
Kuasa hukum terdakwa Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih, juga mengungkapkan keraguannya terhadap kajian tersebut. "Sejak awal, ada dugaan kuat bahwa hasil kajian Prof. Bambang Hero sudah keliru, baik secara prosedural maupun akademik," ujarnya.
Junaedi menegaskan, dugaan kesalahan ini tidak hanya melibatkan Bambang Hero tetapi juga pihak Kejaksaan Agung atau Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengandalkan kajian tersebut untuk menghitung kerugian negara.
Pandangan kritis terhadap penghitungan kerugian negara dalam kasus tata niaga timah ini didasarkan pada tidak adanya keterlibatan BPK dalam proses tersebut.
BACA JUGA:Identitas Pemilik 17 Ton Timah Ilegal Tangkapan Polres Belitung Mulai Terungkap, Ada Sejumlah Nama