Djoss Belitung

Dangkal Dalam

Dahlan Iskan--

Saya tidak ingin melihat reaksi mereka. Saya lari menuruni tangga. Saya harus ingat kepentingan utama saya datang ke rumah John: menyerahkan novel yang ia tulis yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Sudah terbit di Indonesia. Penerjemahnya Anda sudah tahu: Naksin Alhad.

Saya ambil dua novel tebal dari tas saya. Saya serahkan ke John. Juga ke Chris, istrinya. Yang dua orang tidak saya beri. Mereka tak akan bisa membacanya.

Maka pembicaraan pun pindah ke soal novel itu. John berbinar-binar. Sambil menceritakan perjalanannya lebih 10 kali ke Indonesia --mulai Jambi sampai Wamena.

John juga punya kejengkelan lain selain pada Trump. Di novel itu ia menulis soal demokrasi, kebebasan, dan bahayanya totalitarian. Harapannya, waktu itu, Indonesia segera jadi negara demokrasi.

"Berarti Anda harus juga menulis novel seperti ini untuk Amerika," kata saya. John dan Chris tertawa. Baguslah. Sudah bisa tertawa.

BACA JUGA:Taksi Kemudi

"Baiknya Anda segera move on," kata saya lagi.

Keesokan harinya si dokter melihat saya sedang move on: senam-dansa. Sendirian. Di lantai bawah. Di dalam ruangan. Saya tidak berani senam outdoor di teras atas atau di halaman. Dingin sekali.

"Ikut saya," katanya.

"Ke mana?"

"Jalan kaki. Lima kilometer. Saya tiap hari jalan kaki sejauh itu."

Saya pun ambil jaket Persebaya model baru. Lebih tebal. Cocok untuk cuaca musim gugur.

"Jalan ke mana?"

"Saya tahu rutenya. Sudah biasa. Saya bisa tunjukkan bagian-bagian menarik di sekitar perumahan ini."

Di usia 85 tahun langkah si dokter masih panjang. Cepat. Saya harus mengayunkan kaki lebih banyak.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan