Kepemimpinan Nasional Dalam Menghadapi Transisi Tatanan Internasional

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Menteri Pertahanan yang juga presiden terpilih masa bakti 2024-2029 Prabowo Subianto (kanan) berbicara usai menghadiri Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, --

BACA JUGA:Urgensi Program Makan Bergizi Gratis bagi Indonesia Emas 2045

Nyatanya hingga hari ini China terus membayang-bayangi AS sebagai negara dengan jumlah perdagangan global terbesar kedua. Selain itu, menurut laporan dari Badan Kekayaan Intelektual PBB menunjukkan bahwa China memimpin soal paten Artificial Intelligence Generatif dengan mendaftarkan 38.000 paten dalam periode 2014 - 2023. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding AS yang hanya mendaftarkan 6.276 paten pada periode serupa.

Secara ekonomi, Rusia dan China mengembangkan aliansi baru. BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) mewakili 23% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia dan 42% populasi dunia. Negara-negara BRICS berupaya mengimbangi dominasi G7 yang mewakili negara-negara barat. Bergabungnya Iran dengan BRICS pada awal 2024 semakin memperkuat tantangan ini.

Berbagai tantangan ini pelan-pelan menggeser dominasi AS dalam politik global. Situasi yang sulit diterima ini memaksa aliansi negara-negara Barat untuk masuk pada situasi transisi tatanan internasional menuju tatanan internasional baru.

Dengan cara pikir tatanan internasional lama, AS dan negara Barat mencoba mempertahankan dominasinya dengan menggunakan kekuatan militernya. Aliansi militer baru dibentuk, seperti AUKUS (Australia, Inggris, dan AS), dan aliansi militer AS-Jepang serta mengaktifkan kembali aliansi yang sudah lama terbentuk, misalnya Five Defence Power.

BACA JUGA:Jalan Tengah, Upaya Damaikan Konflik Dunia

Tampaknya, Rusia dan China juga telah bersiap diri dengan teknologi dan peralatan militernya. Rusia secara jelas melancarkan invasinya di Ukraina. Putin juga telah berupaya mengambil dukungan dari Korea Utara. Sementara China masih bermain-main dengan Laut China Selatan dan upaya untuk melakukan serangan militer di Taiwan.

Global South vs Global North

Tapi tantangan yang digoncangkan oleh Rusia dan China ini tak serta merta membuat negara-negara dunia terbawa dalam polarisasi politik global. Istilah Global South mengemuka di berbagai forum dunia untuk menggambarkan negara-negara yang enggan dikaitkan dengan negara-negara kolonial di masa lalu.

Istilah Global South tidak serta merta bermakna geografis. Ada dua negara terbesar dalam Global South (China dan India) yang seluruh wilayahnya terletak di belahan Bumi bagian utara. Penggunaan istilah itu justru menunjukkan campuran kesamaan politik, geopolitik, dan ekonomi antarnegara. Global South menggambarkan negara-negara yang termarjinalisasi oleh agenda kolonialisme.

Pada forum-forum yang membahas perubahan iklim, istilah Global South menguat untuk menggambarkan betapa kolonialisme terus dilawan hingga sekarang. Industrialisasi di belahan bumi utara selama dua abad terakhir menghasilkan sebagian besar emisi gas rumah kaca (GRK). Diperkirakan bahwa belahan bumi utara bertanggung jawab atas 92% emisi GRK .

BACA JUGA:Resesi 2025 di Depan Mata: Strategi Bertahan di Tengah Krisis

Namun, negara-negara penghasil polusi tinggi ini telah meminta negara-negara lain di dunia untuk mengurangi tingkat emisi mereka. Ini berarti pembatasan industrialisasi yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi mereka. Kemunculan Global South vs Global North menandakan bahwa tatanan dunia mengarah pada situasi yang menantang status quo.

Transisi ini rupanya telah mengarahkan para pemimpin dunia untuk berpikir secara lebih cerdas dan jernih dalam konfigurasi polarisasi politik global. Karena pada dasarnya tidak ada negara yang menghendaki untuk dirugikan ketika menjalin hubungan dengan negara lain. Memilih dan memilah secara lebih teliti menuntun para pemimpin untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Pada akhirnya, cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang dituangkan dalam konstitusi, yaitu “...ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,..” adalah landasan utama bagi para pemimpin negeri ini dalam berdiplomasi dan bergaul di kancah internasional.

Dalam konteks kepemimpinan Indonesia, Presiden terpilih, Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dituntut untuk mampu mencermati perkembangan transisi ini supaya dapat menghindari jebakan-jebakan konfigurasi politik polarisasi global. Dengan menyatukan kekuatan dari berbagai sisi, membangun sinergi dengan seluruh elemen bangsa, diharapkan mampu menghantarkan kita untuk mengolah potensi unggulan nasional guna membangun kekuatan nasional yang kuat dan tangguh demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan