Syahril Sahidir: Cukong Timah Bandit atau 'Dewa Penolong'?
Syahril Sahidir, BabelPos--
Pertanyaan yang tampaknya tak pernah kehabisan ruangnya untuk diajukan adalah mengapa persoalan tambang timah ini selalu menjadi riuh sepanjang masa? Meskipun regulasi terkait timah seringkali rumit dan selalu berubah-ubah, tantangan utamanya saat ini adalah terkait dengan kepentingan dan legalitas.
BACA JUGA:Pengacara Ungkap Alasan Bos PT GFI Belitung Tak Hadiri Panggilan Penyidik
Suatu wilayah mungkin telah dimasukkan dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) milik suatu perusahaan atau WIUP PT Timah Tbk. Namun, hal ini bisa menimbulkan keberatan dari pihak nelayan karena wilayah tersebut adalah daerah tangkapan ikan mereka.
Di sisi lain, suatu wilayah laut mungkin bukan bagian dari WIUP siapa pun, sehingga secara teknis tidak berada di bawah kendali pertambangan tertentu. Namun, ketika masyarakat setempat ingin mengeksploitasi atau menambang wilayah tersebut, mereka harus mendapatkan izin yang sesuai.
Dengan demikian, masyarakat setempat juga tidak bisa sembarangan turun tangan dalam aktivitas tambang, yang pada akhirnya dapat membuat mereka merasa terasing di laut yang seharusnya menjadi milik mereka sendiri.
Konflik kepentingan pun sering terjadi, terutama ketika suatu wilayah di kawasan Hutan Lindung (HL) ditambang tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya.
Tidak hanya itu, tambang timah kadang-kadang menimbulkan konflik di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Kawasan Objek Vital (Obvit). Kendati lahan tersebut jelas-jelas tidak boleh ditambang, tetap saja seringkali terjadi perselisihan terkait legalitas dan kepemilikan lahan.
BACA JUGA:Satu Juta Bibit Cabai Disalurkan Pemprov Babel
Dalam konteks ini, perizinan menjadi kunci utama. Meskipun ada lahan yang secara nyata boleh ditambang, masih ada perselisihan terkait legalitas. Lebih jauh lagi, lahan-lahan yang jelas-jelas seharusnya dijaga oleh negara, seperti kawasan hutan lindung, DAS, atau Obvit, seringkali menjadi sasaran tambang ilegal atau aktivitas tambang yang tidak terkendali.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk memperjelas regulasi terkait pertambangan timah, serta memastikan bahwa izin yang diberikan benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan pelestarian lingkungan. Hanya dengan pendekatan yang berbasis pada keadilan dan keberlanjutan, kita dapat mengurangi riuhnya persoalan tambang timah yang terus berlangsung.
Bangka Belitung, sebuah provinsi yang kaya akan sumber daya alam, seringkali menjadi sorotan media atas aktivitas penambangan ilegal yang merusak lingkungan. Ironisnya, yang sering kali terkuak adalah kawasan-kawasan terlarang yang dibabat dengan cepat oleh penambang-penambang modal besar. Bagi rakyat kecil, menggarap kawasan seperti itu menjadi sesuatu yang tak terjangkau; alat berat yang dibutuhkan merupakan investasi besar yang sulit dipenuhi.
Permasalahannya muncul ketika penambang dengan modal besar memasuki kawasan tersebut. Rakyat kecil sering kali terbawa arus, terbujuk untuk ikut serta dalam aktivitas ilegal tersebut. Namun, ironisnya, ketika masalah hukum muncul, rakyatlah yang menjadi korban utama. Sang "cukong" atau tokoh-tokoh besar di balik aktivitas ilegal tersebut seringkali menghilang, meninggalkan rakyat kecil menanggung konsekuensi yang berat.
BACA JUGA:Pendalaman Kasus Korupsi, Kejagung Kembali Periksa 5 Saksi di Jajaran PT Timah
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu faktornya adalah akses terhadap modal dan peralatan berat yang dibutuhkan untuk penambangan. Modal besar dan dana untuk alat berat tersebut sering kali berasal dari pihak yang tak terlihat, yang mungkin saja ada di antara mereka, atau bahkan mungkin kita sendiri tanpa sadar menjadi bagian dari "siluman" tersebut.
Penambangan ilegal bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan sosial dan keadilan yang nyata. Rakyat kecil yang seharusnya menjadi pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan sumber daya alam, justru menjadi korban dalam lingkaran kejahatan ekologis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.