Syahril Sahidir: Cukong Timah Bandit atau 'Dewa Penolong'?
Syahril Sahidir, BabelPos--
Apakah timah harus kembali menjadi komoditas strategis seperti yang pernah diusulkan oleh Lemhanas? Pertanyaan ini muncul, namun perlu dicatat bahwa sebelum tahun 1998, ketika timah masih menjadi komoditas strategis negara, rakyat Bangka Belitung tidak memiliki akses yang sama terhadap kekayaan alam mereka. Kontrol yang kuat dari pemerintah pada saat itu menyebabkan rakyat tidak dapat menikmati hasil dari timah yang ada di sekitar mereka. Bahkan, warga Bangka Belitung dilarang untuk menambang, menjual, atau bahkan menyimpan timah, bahkan dalam jumlah kecil.
Namun, sekarang ini, fakta berbicara lain. Meskipun timah bukan lagi komoditas strategis, masyarakat masih menghadapi kendala dalam menambang secara legal dan merasakan manfaat secara maksimal dari kekayaan alam mereka. Kontrol yang pernah kuat terhadap timah telah berubah, namun proses legalitas dan distribusi tetap menjadi hambatan bagi masyarakat setempat.
Peran timah dalam ekonomi dan kehidupan masyarakat Bangka Belitung sangat penting. Meskipun telah kehilangan statusnya sebagai komoditas strategis, timah tetap menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Namun, ada tantangan baru yang harus dihadapi, terutama terkait dengan legalitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam mereka sendiri. Penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa masyarakat Bangka Belitung dapat merasakan manfaat penuh dari kekayaan alam mereka tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial.
BACA JUGA:Dukung Koperasi dan UKM, Babel Siapkan Program Pendidikan dan Pelatihan
Tipikor Tata Niaga Timah
Saat ini, Bangka Belitung, sebuah provinsi yang terkenal dengan tambang timahnya, mengalami masa-masa sulit dalam sektor ekonomi. Dalam dua bulan pertama tahun 2024, terjadi penurunan ekspor timah yang signifikan, menyebabkan kekhawatiran akan lesunya pertumbuhan ekonomi di wilayah ini. Fakta bahwa tidak ada ekspor timah yang terjadi selama periode Januari-Februari 2024 menunjukkan penurunan lebih dari 50% dalam angka ekspor.
Para pekerja tambang, yang sangat bergantung pada hasil tambang untuk mencari nafkah, merasa tertekan karena sulitnya menjual hasil tambang mereka. Mereka tidak tahu kemana harus memasarkan timah yang mereka hasilkan. Ironisnya, dari 14 tersangka yang ditahan oleh Kejaksaan Agung terkait kasus korupsi tata niaga timah, tidak ada yang terlibat dalam pembelian timah secara langsung dari para penambang.
Kehidupan ekonomi masyarakat Bangka Belitung bergantung pada penjualan timah kepada para kolektor. Meskipun disebut sebagai kolektor, mereka sebenarnya hanya pengepul biasa. Penambang tidak mungkin menjual timah mereka secara langsung ke pabrik atau smelter karena jumlahnya yang terbatas per hari.
Namun, persoalannya menjadi semakin rumit. Mata rantai niaga timah di tingkat bawah terputus akibat tindakan korupsi. Para kolektor, yang merupakan pembeli utama dari para penambang, lenyap tanpa jejak. Mereka merasa seperti sedang menunggu waktu untuk juga menjadi sasaran penegakan hukum.
BACA JUGA:Inovasi Pemuda Toboali, Dari Sampah Plastik Jadi Karya Seni Miniatur Band
Tantangan ini meninggalkan pertanyaan besar bagi masyarakat Bangka Belitung: sampai kapan mereka harus menunggu? Bulan Ramadhan telah dimulai dan Idul Fitri akan segera tiba, sementara situasi ekonomi semakin memburuk. Tindakan perbaikan yang cepat dan efektif sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kestabilan dan kepercayaan dalam tata niaga timah di wilayah ini.
Kasus korupsi dalam tata niaga timah telah membawa dampak yang merugikan bagi seluruh masyarakat Bangka Belitung. Langkah-langkah untuk memperbaiki sistem, memperketat pengawasan, dan mengembalikan kepercayaan di antara pelaku usaha adalah langkah yang sangat penting dalam mengatasi krisis ekonomi ini.
Diperlukan kerja sama antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat untuk memastikan bahwa tindakan korupsi seperti ini tidak terulang di masa depan. Hanya dengan upaya bersama, Bangka Belitung dapat pulih dari dampak buruk tindak korupsi ini dan kembali ke jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.