Makan Gratis tanpa Berpikir Kritis

ARDIMAN KELIHU--

Kampanye yang ditopang penciptaan situasi politik yang tertib, kenyang, dan tak banyak protes sebagai bentuk ideal dari masyarakat harmonis. Di balik program makanan tambahan, negara Orde Baru tidak hanya mengalokasikan anggaran yang besar. Tetapi juga mengorbankan kebebasan berpolitik warga sebagai harga yang harus dibayar dengan dalih stabilitas dan pembangunan tadi.

BACA JUGA:HPN 2024, Pemilu dan Konstruksi Demokrasi Berkualitas

BACA JUGA:Daya Juang Sukarelawan yang Memenuhi Panggilan Kemanusiaan

Program makan siang gratis bagi siswa mungkin menjanjikan. Namun, rencana pembiayaannya yang memangkas subsidi BBM juga problematik. Mengalokasikan subsidi BBM untuk membiayai program makan siang gratis bisa memicu kenaikan harga bahan pokok lain. Makan siang gratis bisa menciptakan masalah baru.

Di Amerika Serikat, program makan siang gratis yang diinisiasi pada 1946 mulai bermasalah di tahun 1970. Program makan siang gratis kemudian diprivatisasi sejumlah perusahaan makanan cepat saji karena harga pangan yang mahal dan inflasi yang tinggi. Privatisasi ini membuat makan siang gratis sering kali tidak mengutamakan nutrisi meskipun menghasilkan banyak pilihan makanan dan pelayanan yang cepat (Ellett, Hebbard & Washnock, 2022).

Berpikir Lagi

Demokrasi tidak dihasilkan dari ”makan gratis”. Demokrasi juga tidak dibangun melalui subsidi makan siang gratis, tapi menebar ketakutan dengan alasan ketertiban. Pengalaman Orde Baru menunjukkan dengan gamblang bahwa pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tidak serta-merta menjadi tolok ukur demokratisasi. Sebaliknya, menarik rezim Soeharto ke kubang otoritarianisme.

Selain Orde Baru, kisah roti dan sirkus di Romawi Kuno perlu jadi refleksi. Persis di tengah kelangkaan pangan dan surplusnya pencitraan elite politik. Agar bisa patuh, rakyat tidak selalu diberi makan, tapi juga ruang partisipasi politik dan kebebasan. Perut yang kenyang tidak serta-merta membuat orang jadi tertib. Jika cita rasa makanan memang tak enak, protes mungkin saja bisa muncul dari sana. (*)

*) ARDIMAN KELIHU, Peneliti di Research Center for Politics and Government (Polgov) Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan