Melestarikan Bahasa Ibu sebagai warisan budaya
Melestarikan Bahasa Ibu sebagai warisan budaya--
Bandingkan dengan Pulau Jawa, yang memiliki jumlah bahasa lokal paling sedikit, yaitu 10 bahasa lokal, sementara populasinya paling padat sekitar 150 juta jiwa.
Penyebab utama berkurangnya penutur bahasa daerah adalah karena para penutur asli tidak lagi mewariskan bahasa daerah ke generasi berikutnya. Biasanya ini terjadi akibat perkawinan antarsuku atau perkawinan antarbangsa.
Annisa (23), misalnya, ayahnya berasal dari Suku Minang dan ibu dari Suku Jawa. Dia lahir dan besar di Jakarta. Ia mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu karena memang keluarganya berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
BACA JUGA:Pesan Dari Sungai Utik untuk Pemimpin baru
Faktor penyebab lain adalah migrasi atau perpindahan penduduk yang biasanya untuk menetap dalam jangka panjang.
Seperti kata pepatah, dimana tanah dipijak di situ langit dijunjung. Termasuk dalam penggunaan bahasa, kaum pendatang biasanya akan membaur dengan menggunakan bahasa setempat. Sehingga saat anak-anak mereka lahir pun, bahasa setempat lah yang diajarkan kepada mereka supaya tidak bermasalah saat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
Migrasi tersebut tentu tidak hanya terjadi dalam satu negara, namun juga bisa antarnegara.
Seorang kawan, Abdul Hakim (25), warga negara Indonesia yang lahir dan besar di Mekkah, Arab Saudi, kedua orang tuanya sudah bertahun-tahun bermukim di Arab Saudi. Bahasa yang pertama kali dipelajari dan digunakan Hakim untuk berkomunikasi dengan lingkungan adalah bahasa Arab, meskipun kedua orang tuanya asli Indonesia.
Globalisasi juga mendorong semakin cepatnya bahasa daerah tergeser, terutama oleh bahasa internasional.
BACA JUGA:Menjaga Kewarasan Dalam Pemilu Berbalut Kasih Sayang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, setiap dua minggu, satu bahasa akan menghilang. Setidaknya, 43 persen dari perkiraan 6.000 bahasa yang digunakan di dunia terancam punah. Hanya beberapa ratus bahasa yang benar-benar mendapat tempat dalam sistem pendidikan dan ranah publik, dan kurang dari 100 digunakan di dunia digital.
Sebagai upaya pelestarian bahasa ibu inilah, PBB menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Melestarikan bahasa ibu adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga menjadi kunci utama dalam upaya pelestarian bahasa ibu. Dengan upaya bersama, bahasa ibu dapat terus hidup dan berkembang, serta menjadi warisan budaya yang berharga bagi generasi penerus bangsa.