Tiga Serangkai

Dahlan Iskan--

Saya pun ke Makassar. Tinggal satu minggu di sana. Saya bidanilah terbitnya kembali Fajar. Tanpa modal dari Jawa Pos. Setoran modal Jawa Pos adalah tenaga dan pikiran saya.

Selama satu minggu itu saya kerja siang malam bersama para wartawan dan karyawan Fajar. Sore sampai malam saya bekerja bersama wartawan dan redaktur.

Setelah tengah malam saya bekerja dengan orang-orang percetakan.

BACA JUGA:Dana Anagata

Setelah subuh saya bekerja bersama karyawan distribusi. Baru tidur setelah pukul 06.00 pagi.

Pukul 09.00 sudah harus bangun. Bekerja bersama orang-orang administrasi.

Begitulah tiap hari. Sampai Fajar terbit kembali. Sampai semuanya berjalan lancar.

Tiap hari pula makannya nasi bungkus. Tidak bisa makan banyak. Toilet kantor itu lebih buruk dari toilet terminal bus masa lalu. Di dalam kamar mandinya harus ada ganjal bata agar kaki tidak terendam air.

Setelah itu saya masih begitu sering ke Makassar. Fajar harus berhasil. Harus jadi yang terbesar di Sulsel.

Alwi tidak ikut pekerjaan seperti itu. Ia serahkan sepenuhnya kepada saya.

Begitu Fajar sukses, saya kian jarang ke Makassar. Sudah waktunya disapih. Apalagi Fajar bisa benar-benar menjadi yang terbesar di sana. Belakangan mampu membangun gedung baru 17 lantai yang sangat megah di pusat kota.

Di gedung itu jenazah Alwi Hamu disemayamkan --sebelum dikubur di pemakaman keluarga Jusuf Kalla tidak jauh dari gedung itu.

Alwi sendiri meninggal dunia di Jakarta Sabtu pagi lalu. Sudah agak lama ia punya rumah di Jakarta.

Ketika Pak JK menjabat wakil presiden Alwi pun melekat di istana. Ia sibuk luar biasa. Saya kian jarang bertemu dengannya.

Lima tahun lalu Alwi Hamu terkena stroke. Keluar masuk rumah sakit. Beberapa kali saya menjenguknya. Sejak masih bisa berjalan, sampai ia sudah harus di kursi roda, pun ketika ia hanya tidur di pembaringan, bahkan saat ia sudah tidak kenal lagi siapa pun yang menjenguknya.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan