Perubahan Wajah Politik Tanpa Ambang Batas
Suasana sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus persyaratan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen kursi di DPR sebagaimana diatur-Fauzan/rwa/aa.-ANTARA FOTO
BACA JUGA:Merajut Kekuatan Menuju Kedaulatan Pangan Indonesia
Perubahan ini membuka peluang bagi generasi muda untuk aktif berpartisipasi dalam politik. Lewat terbukanya akses yang luas, anak-anak muda Indonesia kini berkesempatan untuk mewujudkan mimpinya menjadi pemimpin bangsa.
Mesti diingat bahwa penghapusan ambang batas ini bukan artinya tak ada regulasi sama sekali. MK memberi rekomendasi kepada pembuat undang-undang untuk menyusun mekanisme pencalonan yang tetap menjaga kualitas demokrasi. Semisal, partai politik yang tak mengusulkan calon bisa dikenakan sanksi larangan ikut pemilu berikutnya.
Potensi politik 2029
Salah satu konsekuensi riil dari penghapusan ambang batas 20 persen ini yakni kemungkinan bertambahnya jumlah kandidat presiden pada Pemilu 2029. Tanpa adanya syarat minimal dukungan kursi di DPR atau perolehan suara nasional, semua partai politik peserta pemilu kini punya hajat yang sama untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Potensinya menghadirkan banyak opsi bagi masyarakat dan menciptakan kompetisi yang ketat antar kandidat.
Penghapusan ambang batas juga membuka keleluasaan bagi munculnya wajah baru dalam bursa calon presiden. Partai kecil atau bahkan partai baru yang lolos sebagai peserta pemilu kini punya kesempatan untuk mengusung kader terbaiknya sebagai calon pemimpin bangsa. Hal ini bisa jadi penyegaran bagi demokrasi Indonesia, lantaran memberi ruang bagi munculnya alternatif pemimpin di luar tokoh yang selama ini mendominasi panggung politik nasional.
BACA JUGA:Warisan Budaya Urang Darat Belitong yang Terlupakan
Walaupun, perlu diingat bahwa meski ambang batas dihapuskan, persoalan untuk menjadi calon presiden tetap tidak mudah. Biaya politik tinggi menjadi hambatan utama bagi partai atau individu yang ingin maju sebagai calon presiden. Maka dari itu, kemungkinan besar cuma partai atau tokoh yang punya sumber daya finansial dan dukungan politik kuat yang benar-benar mampu berkompetisi dalam Pilpres 2029.
Perubahan aturan ini juga berpotensi mengubah pola koalisi antar partai. Tanpa keharusan memenuhi ambang batas 20%, partai kecil bisa jadi memilih untuk berkoalisi berdasarkan kesamaan visi dan platform politik, bukan semata demi memenuhi syarat pencalonan presiden. Hal ini bisa membuat koalisi baru yang ideologis dan substantif.
Sementara itu, partai besar yang selama ini menikmati "privilege" dari aturan ambang batas 20% akan menghadapi masalah baru. Partai besar mesti berpikir ulang mengatur strategi politiknya untuk tetap relevan dan kompetitif dalam lanskap politik yang terbuka.
Walau begitu, penghapusan ambang batas ini juga menimbulkan kecemasan akan terjadinya fragmentasi politik yang berlebihan. Dengan potensi munculnya banyak calon presiden, ada risiko suara pemilih terpecah dan menghasilkan presiden terpilih dengan dukungan yang relatif kecil. Hal ini bisa memantik masalah legitimasi dan stabilitas pemerintahan ke depannya.
BACA JUGA:Putusan-putusan MK yang Mengukir Sejarah Sepanjang 2024
Terlepas dari beragam potensi perubahan tersebut, yang pasti penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini akan membuat Pemilu 2029 menjadi dinamis dan menarik untuk diikuti. Masyarakat dihadapkan pada banyak pilihan, dan partai politik dituntut untuk benar-benar menampilkan kader terbaiknya jika ingin memenangkan kompetisi.
Pada akhirnya, keberhasilan perubahan ini tergantung pada kematangan demokrasi kita. Masyarakat perlu mendapat pendidikan politik yang baik untuk memilih pemimpin dengan bijak, terlebih dengan bertambahnya kandidat. Pasalnya, partai politik juga harus bertanggung jawab dalam mengusung calon berkualitas demi kemajuan bangsa.
Perbandingan negara lain
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) di Indonesia membuka peluang untuk mempelajari pengalaman negara lain yang sudah lama menjalankan sistem serupa. Beberapa negara dengan sistem presidensial yang mapan justru tidak menerapkan ambang batas dalam pencalonan presiden.
Amerika Serikat, sebagai contoh negara dengan sistem presidensial paling stabil, tak mengenal adanya ambang batas pencalonan presiden. Pada Pilpres 2016, terdapat sekitar 24 calon yang terdaftar di surat suara beberapa negara bagian atau menjadi calon tertulis. Meski demikian, sistem politik Amerika tetap stabil dengan dominasi dua partai besar.