Terus Jadi Perdebatan
Perbedaan angka kerugian dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor tata niaga komoditas timah di IUP PT Timah tahun 2015-2022 terus memicu polemik dalam perkembangan kasus.
Dengan total kerugian negara yang disebut-sebut mencapai lebih dari Rp 300 triliun, angka Rp 271 triliun dari perhitungan Prof Bambang Hero Saharjo, ahli lingkungan dari IPB, menjadi pusat perhatian.
Isu ini semakin pelik ketika Hakim mempertanyakan rincian IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dihitung oleh Prof Bambang. Ternyata, data yang dia gunakan mencakup seluruh IUP, bukan hanya milik PT Timah.
“Dari 88.900 bukaan, ada berapa yang milik PT Timah? Tapi dalam laporan kerugian, saudara tidak memisahkan mana yang PT Timah dan non-PT Timah?” tanya Hakim dalam persidangan.
BACA JUGA:Sidang Korupsi Aon: Status PT Timah sebagai Anak BUMN, Termasuk Kerugian Negara?
Ketika diminta menjelaskan metode perhitungannya, jawaban Prof Bambang justru mencengangkan.
“Aduh, saya malas jawabnya, Yang Mulia,” ucapnya singkat, membuat suasana ruang sidang semakin tegang.
Pernyataan ini menambah keraguan terhadap akurasi dan transparansi perhitungan kerugian yang disampaikan, menjadikan perdebatan ini jauh dari selesai.
Jawaban Prof Bambang Hero dalam persidangan justru semakin memunculkan pertanyaan besar mengenai metode perhitungan yang selama ini dijadikan acuan dalam kasus ini.
Keragu-raguan pun timbul, khususnya terkait keseriusan dan kredibilitas sang ahli dalam menyusun laporan yang sangat penting untuk proses hukum ini.
BACA JUGA:KPAI Sorot Aktivitas Tambang Timah Dekat SLB Manggar Beltim, Proses Belajar Anak Terganggu
Prof Bambang mengandalkan citra satelit dari Citra Landsat 8/9 dan Sentinel-2 periode 2015–2023 untuk menghitung luas galian tambang timah di Bangka Belitung.
Namun, kedua jenis citra tersebut memiliki resolusi spasial hanya 10 hingga 30 meter, yang dinilai kurang akurat untuk analisis detail seperti ini.
Salah satu kelemahan mencolok dalam laporan tersebut adalah tidak adanya pemisahan antara IUP milik PT Timah dan IUP lain di wilayah Bangka Belitung.
Ketika dipertanyakan oleh kuasa hukum mengapa perhitungan tersebut tidak membedakan secara spesifik kedua jenis IUP tersebut, Prof Bambang gagal memberikan penjelasan yang memadai, bahkan menunjukkan sikap yang terkesan kurang serius.