SURABAYA - Pemilu 2024 merupakan pemilu yang relatif berbeda dengan Pemilu 2019 dan pemilu sebelumnya, mengingat generasi milenial (lahir 1980-1994) dan generasi Z (1995-2000) sangat mendominasi hingga 113 juta pemilih atau 56,45 persen.
KPU RI mencatat total pemilih dalam Pemilu 2024 mencapai 204.807.222 pemilih. Sebanyak 66.822.389 atau 33,60 persen di antaranya adalah pemilih milenial dan 46.800.161 atau 22,85 persen adalah pemilih generasi Z. Jadi, pemilih milenial/Z itu sangat dominan.
Pemilu dengan 56,45 persen pemilih milenial dan Z itu agaknya mendorong fenomena baru dalam penggunaan platform baru yang jauh berbeda dengan cara-cara kampanye sebelum Pemilu 2024, yakni akun media sosial (medsos), kendati penyelenggaraan kampanye personal, kampanye akbar, dan debat kandidat, masih ada.
Misalnya, pendukung milenial pasangan Anies-Muhaimin menggunakan platform X/twitter, pendukung milenial pasangan Prabowo-Gibran menggunakan TikTok, dan pendukung milenial pasangan Ganjar-Mahfud Md menggunakan Instagram.
Tidak hanya itu, kelompok K-Pop-ers pun terpengaruh, meski usianya masih sangat belia dan belum mempunyai hak pilih. Munculnya fenomena K-Pop-ers itu, di Amerika Serikat dan Chile mampu menjadi kekuatan tersendiri sehingga presiden yang didukung akhirnya terpilih menjadi pemenang pesta demokrasi.
BACA JUGA:Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra
BACA JUGA:Selanjutnya Perang AS-Iran?
Hanya saja, K-Pop-ers di Indonesia berbeda dengan AS dan Chile, karena generasi muda kita itu memiliki nilaiyang memisahkan politik dengan dukungan terhadap kelompok musik yang digandrungi. Akhirnya, kaum muda yang politis di Indonesia pun membuat akun terpisah yang disebut Aniesbubble, karena terbentur pemisahan pecinta musik itu dan politik.
Jadi, pemilih milenial/generasi Z masih melihat Pemilu 2024 secara alami, bukan politis. Masalahnya justru timbul di kalangan non-milenial atau di luar generasi Z yang "kurang pintar" dalam memanfaatkan platform digital, tapi justru sangat politis, padahal mereka merupakan generasi non-digital yang hidup di dunia digital.
Buktinya, sejak akhir Agustus 2023, serangan-serangan digital dalam kurun pemilu kurang 6 bulan pun sudah dibumbui dengan isu-isu "kuno", seperti pemilu-pemilu sebelumnya, yakni PKI/komunis, SARA, dan pro-kontra yang justru membuat perbedaan semakin menonjol. Kenyataan ini membawa keadaan pada suasana rentan bagi bangsa kita yang ekstra majemuk.
Sebagai contoh, ada kandidat X yang "diserang" dengan pelanggaran HAM yang kasusnya sudah terjadi belasan tahun silam. Ada pula kandidat Z yang "diserang" isu non-pribumi. Ada pula kandidat Y yang diserang sebagai "petugas partai", dan isu SARA atau isu lainnya yang tidak substansial.
Tidak hanya "membelokkan" informasi-informasi lama untuk "kampanye" asal menyerang, namun pemilu digital di tangan generasi non-digital juga tidak jarang mengampanyekan informasi-informasi baru berpola hoaks.
Buktinya, seorang anggota Komisi I DPR RI menghitung dari Maret sampai Juni 2023 atau pemilu masih kurang setahunan sudah ada 425 berita hoaks, dengan dominasi berita politik.
BACA JUGA:Indonesia Emas yang Hijau dan Adil
BACA JUGA:Hasrat Kuasa, Demokrasi, dan Realitas Ciptaan