Bahkan, selama tiga tahun (2021-2023) ada 15.000 berita hoaks yang ditindak oleh aparat penegak hukum.
Karena itu, mengenai persatuan dan kesatuan bangsa harus selalu digaungkan agar kita tidak terjebak pada jurang terpecah belah akibat berita hoaks. Peringatan agar kita tidak mudah terprovokasi dengan berita yang belum jelas harus selalu diteriakkan.
Ya, kampanye digital dengan isu-isu pemilu yang hoaks dan juga kampanye digital dengan "membelokkan" informasi lama (framing), agaknya justru terlalu rentan bagi generasi yang tidak paham digital, atau "tidak saleh" secara digital.
Kampanye gagasan
Kalangan akademisi juga mengingatkan bahwa pemilu digital justru menjadi persoalan bagi generasi non-digital (generasi sebelum Y dan Z) jika tidak mengambil jalan bijak dalam menyikapi keadaan menjelang pelaksanaan peta Demokrasi yang akan digelar Rabu, 14 Februari 2024.
Orang muda saat ini (Gen-Y dan Gen-Z) merupakan penghuni ruang digital yang berbeda dengan para orang tua atau generasi terdahulu yang merupakan "perantau" di ranah digital. Orang tua/terdahulu memiliki literasi digital yang rendah, sehingga berpotensi terjebak dalam banyak hal yang potensial menimbulkan masalah.
BACA JUGA:Hilangnya Visi Indonesia Emas di Debat Capres
BACA JUGA:Kekalahan Propaganda Zionis
Ya, banyak orang-orang dari generasi terdahulu yang mengira semua pemberitaan yang sampai ke gadget mereka itu adalah benar. Generasi terdahulu itu adalah generasi koran. Kalau mereka membaca koran, mereka biasanya yakin bahwa berita yang disampaikan pasti benar, karena pengelola koran arus utama (mainstream) pasti sudah melakukan konfirmasi/klarifikasi kepada narasumber, sehingga apa yang disajikan dijamin benar.
Nah, generasi terdahulu seperti itulah memperlakukan berita di dunia digital yang sampai ke gawai mereka seolah sama dengan berita yang didapat dari koran, majalah, dan televisi, padahal belum pasti benar. Mereka kemudian menyebarkannya ke pihak lain dengan cepat, tanpa merasa perlu melakukan konfirmasi.
Generasi terdahulu yang literasi digitalnya masih rendah karena merupakan "perantau" di dunia digital itu justru menjadi pemicu terciptanya hoaks, jika mereka tidak bijaksana. Akibat dari merebaknya hoaks, relasi sosial bisa terganggu.
Karena itu, kunci pemilu digital adalah literasi digital, agar semua pemilih bisa menggunakan dunia digital untuk menciptakan ikatan-ikatan sosial yang lebih kuat untuk menciptakan kebersamaan dan kerukunan. Ikatan-ikatan sosial itu harus terus kita pupuk agar menjadi lebih kuat di masyarakat kita yang majemuk, bukan justru dirusak menjadi kian buruk dan ambyar.
Terkait literasi digital itu, sikap cerdas (kesalehan digital) menjadi penting, apalagi jebakan dunia digital itu tidak sedikit, seperti hoaks dan framing, sikap ekstrem, sikap anti-digital, bully-spam, phubbing, hack/pishing, scams, viralisasi politis/ideologis, dan deep-fake melalui kecerdasan buatan (AI).
BACA JUGA:Etnomusikolog, Komposer, dan Perkusionis
BACA JUGA:Ironi Pungli di Lembaga Antikorupsi
Paling tidak, tiga standar "kesalehan digital" perlu dijadikan rujukan, yakni narasumber yang kompeten, konten yang akurat, dan ada rujukan data atau kutipan. Tiga standar itulah yang akan menyelamatkan penerima informasi digital dari jebakan digital yang menyesatkan. Kalau tiga standar itu tidak ada, maka informasi sebaiknya tidak disebarluaskan, sehingga pemilih tidak salah informasi dalam Pemilu "Digital" 2024.