Secara historis, terkait dengan penanganan pengungsi mass influx, hanya tersedia sedikit pilihan solusi yang kemungkinan bagi hasrat publik hari ini tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Pertama, menyediakan pusat penampungan sementara. Pusat berarti berada di sebuah lokasi terpadu. Ini memudahkan aspek teknis, baik pemerintah maupun UNHCR, IOM, dan aktor non-negara lainnya dalam bekerja. Hal ini juga sesuai dengan Perpres 125/2016 tentang Penampungan.
Kondisi terkini, pengungsi yang bukan dari mass influx seperti dari Afghanistan dan sebagainya telah tersebar di 10 provinsi se-Indonesia. Pengungsi Rohingya berbeda karakteristik dengan pengungsi Afghanistan dan lainnya.
Pengalaman pengungsi di Pulau Galang 1979–1996, sebagian pengungsi Vietnam mendapatkan resettlement dan sebagian pemulangan sukarela pascaperang dingin ketika situasi Vietnam kian membaik. Setelah 1975 juga terjadi gesekan sosial dengan warga lokal karena titik berlabuh pengungsi yang terpencar. Kerja sama Indonesia, UNHCR, PMI, dan beberapa aktor non-negara lainnya memperlihatkan rekam jejak yang baik ketika menangani lebih dari 250 ribu pengungsi di Pulau Galang.
Opsi memusatkan di sebuah pulau juga bermaksud menseparasi antara pengungsi dan warga yang menolak sehingga gesekan sosial dapat dikurangi. Saat ini Uni Eropa memakai strategi yang sama, Pulau Samos dan beberapa pulau lainnya di Yunani dijadikan pusat penampungan pengungsi, mencegah masuk ke Eropa daratan.
BACA JUGA:Mewaspadai Melonjaknya Covid di Masa Liburan Akhir Tahun 2023
BACA JUGA:Harta Karun Desa Limbongan
Situasi Myanmar yang membaik tanpa junta militer dalam ranah politik merupakan concern semua negara di kawasan karena pengungsi Rohingya menjadi masalah bersama.
Kedua, opsi memulangkan para pengungsi juga ada. Namun, opsi tidak baik disebabkan melanggar prinsip non-refoulement dan kewarganegaraan orang Rohingya tidak diakui pemerintah Myanmar.
Pertanyaan selanjutnya, jika mengambil opsi ini, akan dipulangkan ke mana? Bisa dibayangkan ketika berlabuh atau mendarat kembali di Myanmar, pengungsi ini akan dijebloskan ke penjara, bisa juga dieksekusi mati. Menyerahkan ke agresor mereka membahayakan dan bukan pilihan bijaksana pada abad ke-21 ini.
Hidup hanya sekali. Pengungsi juga berhak mendapatkan hak untuk hidup. Jika ujian kemanusiaan ini membuat kita naik kelas, inilah saatnya. (*)
*) MUHAIMIN ZULHAIR ACHSIN, Peneliti pengungsi, dosen Hubungan Internasional Universitas Brawijaya