GELOMBANG manusia perahu pengungsi Rohingya akan terus berdatangan ke Indonesia setidaknya karena dua faktor. Pertama, memburuknya kondisi keamanan di kamp pengungsi di Bangladesh. Kekerasan, penyiksaan, pemerkosaan, pernikahan paksa, pembunuhan oleh gangster, serta pemerasan dan kriminalisasi oleh polisi yang bertugas membuat para pengungsi khawatir dengan keselamatan mereka dan keluarganya.
Kedua, tertutupnya jalur laut ke Thailand dan Malaysia. Pemerintah Thailand tidak segan melakukan pushback, mendorong kapal kembali ke laut, membahayakan nyawa ratusan manusia perahu. Karena itu, melalui jalur laut, tidak ada alternatif lain untuk sampai di tempat yang lebih kondusif jika dibandingkan dengan berlabuh ke Indonesia, terdekat di Provinsi Aceh.
Para pengungsi tidak dapat dihukum karena memasuki suatu batas negara berdaulat disebabkan prinsip dari Konvensi 1951 tentang status pengungsi. Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar Konvensi 1951, yaitu nondiscrimination, non-penalization & non-refoulement.
Pihak yang menangani pengungsi tidak boleh tebang pilih mendiskriminasi (discrimination) pengungsi mana yang akan diselamatkan berdasar ras, agama, budaya, dan sebagainya. Pengungsi tidak boleh dihukum (penalization) karena memasuki wilayah negara lain tanpa dokumen. Sebab, kadang ketika konflik terjadi, mereka menyelamatkan diri dari persekusi hanya dengan pakaian yang melekat di badan.
BACA JUGA:Mengerem Syahwat Kekuasaan
BACA JUGA:Islam Melindungi Perempuan dari KDRT
Dihubungkan dengan kasus penyelundupan sebagai cara pengungsi untuk mencapai sebuah daerah, yang dapat dihukum adalah sindikatnya, bukan pengungsinya. Seandainya pengungsi Rohingya itu mempunyai finansial yang kuat, pastilah mereka mencari jalan masuk ke negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau negara-negara Uni Eropa.
Prinsip yang paling fundamental adalah non-refoulement. Para pihak yang menangani pengungsi tidak boleh memulangkan/mengusir para pengungsi ke tempat di mana nyawa/keselamatan mereka terancam. Jelas teknik pushback dari para pihak yang tidak menginginkan pengungsi melanggar prinsip ini karena perahu yang sudah berminggu-minggu di lautan ketika ingin berlabuh mencari pertolongan kembali didorong ke laut yang berpotensi hilang dan tenggelam.
Meski tidak mengaksesi Konvensi 1951, Indonesia tak lantas dapat berbuat tanpa kerangka. Konvensi 1951 menjadi instrumen standar internasional penanganan pengungsi. Aksesi atau tidak mengaksesi di sini dibaca bahwa sebuah negara bersedia atau tidak bersedia menjadi negara destinasi. Karena tidak mengaksesi Konvensi 1951, status Indonesia adalah negara transit. UNHCR akan membantu pemrosesan pengungsi tersebut sampai resettlement ke negara ketiga atau pemulangan sukarela dengan segala konsekuensi biayanya.
Beberapa pihak yang meragukan ”kepengungsian” manusia perahu Rohingya ini kurang memahami hal mendasar bahwa pengungsi dapat dikategorikan by definition dan by status/recognition. Ketika orang pergi menyelamatkan diri ke negara lain karena ketakutan akan persekusi, secara otomatis dia menjadi pengungsi by definition.
BACA JUGA:Home Visit, Langkah Proaktif Meningkatkan Kualitas Pendidikan dan Menyelesaikan Permasalahan Siswa
BACA JUGA:Larangan Absurd Swafoto Simbol Jari Bagi ASN Selama Musim Pemilu
Namun, sesampai di negara lain, misalnya di negara transit, ketika UNHCR melakukan proses RSD (refugee status determination), pengungsi tersebut akan dinilai UNHCR apakah berhak menyandang status pengungsi atau pencari suaka. Ketika UNHCR mengumpulkan data dan menilai orang tersebut layak berstatus pengungsi, itulah yang disebut pengungsi by status/recognition yang berhak untuk dicarikan negara ketiga/resettlement, mendapatkan register kartu pengungsi, dan hak lainnya.
Perbedaan UNHCR dengan IOM dalam konteks pengungsi adalah IOM menyediakan keperluan harian, membantu pemulangan sukarela, dan sebagainya tanpa kewenangan menentukan status pengungsi. UNHCR dan IOM serta lembaga internasional lainnya menghimpun dana internasional dan menggunakannya untuk masalah internasional seperti pengungsi.
Opsi Solusi