Mengerem Syahwat Kekuasaan

Biyanto--

SEORANG jurnalis senior, Saur Hutabarat, pernah mengatakan bahwa setelah era Bung Hatta, tiada lagi yang layak menyandang gelar negarawan. Negeri ini juga telah kehilangan Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i). Semasa hidupnya, Buya Syafi’i juga menyampaikan kerisauan senada. Buya Syafi’i mengatakan bahwa bangsa ini terlalu banyak melahirkan politisi, tapi miskin negarawan.

Membedakan politisi dan negarawan dapat dipahami dari pernyataan James Freeman Clarke (1810–1888). Teolog Amerika Serikat itu berkata, ’’The difference between a politician and a statesman is that a politician thinks about the next election while the statesman thinks about the next generation’’ (Perbedaan politikus dan negarawan adalah bahwa politikus berpikir tentang pemilu berikutnya ketika negarawan memikirkan generasi masa depan).

Politisi dengan syahwat politik tinggi selalu berpikir cara meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Bahkan saat dirinya baru dilantik sekalipun, yang dipikirkan adalah strategi untuk mempertahankan kekuasaan pada pemilu berikutnya. Bagi politisi yang haus kekuasaan, soal etika berpolitik sementara waktu diabaikan. Yang penting adalah memenangi perebutan kekuasaan. Itulah sebabnya politik selalu dimaknai, ’’Who gets what, when, and how” (Siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana).

BACA JUGA:Islam Melindungi Perempuan dari KDRT

Doktrin politik juga mengajarkan bahwa tidak ada teman dan lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan, ada politisi yang berseloroh, ’’Perbedaan pendapat itu biasa terjadi. Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan.” Karakter itu menjadikan politik dan partai akrab dengan budaya berpecah. Tengoklah tokoh-tokoh yang berkontestasi dalam pemilihan presiden (pilpres) pada Pemilu 2024. Mereka yang dulu berteman kini menjadi lawan. Sebaliknya, mereka yang dulu menjadi lawan kini berteman.

Perpecahan merupakan hal yang lumrah terjadi dalam dunia politik dan kepartaian. Apalagi jika politisinya telah kehilangan nilai-nilai ideologi yang menjadi dasar perjuangan. Narasi ideologi yang biasanya ideal akan ditransaksikan dengan kepentingan pragmatis untuk meraih kekuasaan. Hal tersebut terjadi karena tabiat kekuasaan, sekecil apa pun kekuasaan itu, selalu menghadirkan godaan.

Peringatan Ibnu Khaldun

Terkait dengan kerinduan negeri ini untuk melahirkan negarawan, kita penting merenungkan peringatan Bapak Sejarah Modern Ibnu Khaldun (1332–1406). Dalam karya monumentalnya, The Muqaddimah an Introduction to History (1989), Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa kekuasaan itu, jika tidak dijalankan dengan amanah, pasti akan membawa kerusakan. Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa tabiat kekuasaan selalu menghendaki berada di satu tangan (the royal authority, by its very nature, must claim all glory for itself).

Karena itulah, penguasa selalu tidak rela jika kekuasaan yang diraih dengan penuh perjuangan harus berpindah tangan. Jika terpaksa harus berpindah tangan, diusahakan agar pemegang kekuasaan berikutnya adalah orang-orang yang masih berhubungan darah atau memiliki kekerabatan dengan dirinya. Pada konteks itulah, lahir budaya politik dinasti yang berakar kuat di negeri tercinta. Dalam budaya politik dinasti, mekanisme checks and balances pasti sangat sulit terwujud.

BACA JUGA:Home Visit, Langkah Proaktif Meningkatkan Kualitas Pendidikan dan Menyelesaikan Permasalahan Siswa

Selanjutnya, Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa tabiat kekuasaan juga selalu menghendaki kemewahan (the royal authority, by its very nature, requires luxury). Padahal, kemewahan pada saatnya akan merusak akhlak para pemegang kekuasaan. Kemewahan dan hilangnya akhlak merupakan tanda kehancuran negara. Peringatan senada juga dikemukakan Lord Acton (1834–1902) tatkala menulis surat pada Bishop Mandell Creighton (1843–1901). Dalam surat itu, Acton menulis ungkapan yang melegenda, ’’Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” (Orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya).

Godaan Kekuasaan

Pertanyaannya, mengapa syahwat untuk mempertahankan kekuasaan begitu tinggi? Untuk menjawab pertanyaan itu, marilah kita renungkan kisah pengusiran Adam dan Hawa dari surga. Mengapa keduanya terusir dari surga? Jawabnya, karena mereka tergoda bujuk rayu setan. Sejak lama setan memendam kedengkian kepada Adam. Setan berusaha mencari jalan untuk menggelincirkan Adam. Setan menemukan dua kelemahan Adam, yakni keinginan untuk hidup abadi dan terus berkuasa.

Dengan dua kelemahan itu, setan lantas merayu agar Adam dan Hawa makan buah dari pohon keabadian (syajarah al-khuldi). Menurut bisikan jahat setan, jika Adam dan Hawa mau makan buah khuldi, keduanya akan merasakan kenikmatan surga yang abadi. Keduanya juga memperoleh kekuasaan yang tidak pernah binasa. Singkat kisah, Adam dan Hawa akhirnya tergoda bujuk rayu setan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan