Transformasi TNI di Tengah Tantangan Geopolitik
Sejumlah prajurit TNI berbaris dalam gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024). Gladi bersih yang diikuti 100.000 personel dan 1.059 alu--
Pada usia 79 tahun, Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdiri tegak di persimpangan sejarahnya yang panjang. Suara derap sepatu pasukan, raungan pesawat tempur, hingga geliat kapal perang di lautan luas menjadi simbol bahwa TNI tak hanya menengok ke masa lalu, tetapi juga melangkah mantap menuju masa depan.
Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan yang tidak lama lagi dilantik menjadi Presiden Ke-8 RI, visi besar pertahanan Indonesia semakin nyata terbentang.
Di tengah derasnya angin perubahan global, TNI menghadapi tantangan yang lebih kompleks dari sebelumnya. Bukan hanya ancaman fisik seperti agresi militer, melainkan juga ancaman nonkonvensional: perang siber, terorisme global, dan perubahan geopolitik yang cepat.
Prabowo, yang sejak awal dikenal sebagai tokoh yang memiliki perhatian mendalam terhadap pertahanan negara, paham benar bahwa untuk menjawab tantangan ini, TNI tidak bisa stagnan. Ia harus bergerak, bertransformasi, dan mengembangkan diri.
BACA JUGA:Peparnas 2024, Ajang Mencari Paralimpian Baru
Visi besar Prabowo adalah memperkuat TNI sebagai garda terdepan pertahanan Indonesia. Namun, ia tahu bahwa kekuatan tidak bisa dibangun hanya dari keberanian dan tekad saja. Salah satu komitmennya yang paling berani adalah meningkatkan anggaran pertahanan hingga menembus batas psikologis 1 persen dari PDB, sebuah angka yang menandakan betapa pentingnya sektor ini dalam strategi besar nasional.
Anggaran dan ketangguhan militer
Anggaran pertahanan selalu menjadi cerminan sejauh mana sebuah negara memandang ancaman dan prioritas keamanannya. Indonesia, selama bertahun-tahun, dikenal--bila menggunakan persentase dari PDB--memiliki anggaran militer yang lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Thailand, bahkan Timor Leste. Meskipun dengan sumber daya manusia yang besar, TNI kerap kali berada di bawah bayang-bayang keterbatasan anggaran.
Prabowo memahami bahwa untuk membuat TNI tangguh, modern, dan responsif terhadap berbagai ancaman, perlu ada perubahan besar dalam pola pendanaan. Meningkatkan anggaran pertahanan hingga melampaui 1 persen dari PDB bukanlah hal yang mudah. Ini adalah lonjakan besar yang memerlukan perencanaan matang.
BACA JUGA:Membina Generasi Masa Depan Melalui Transformasi Digital Pendidikan
Namun, di balik angka itu, tersembunyi visi lebih dalam, bahwa pertahanan bukan hanya soal menjaga perbatasan, tetapi juga menjaga eksistensi bangsa di tengah dunia yang tak pasti.
Akan tetapi, dengan anggaran besar datang pula tanggung jawab besar. Indonesia memiliki sejarah panjang tentang inefisiensi dan korupsi dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista). Janji Prabowo untuk memodernisasi TNI melalui peningkatan anggaran ini harus disertai dengan sistem pengawasan yang ketat. Setiap rupiah yang diinvestasikan dalam kekuatan militer harus dikelola dengan transparan dan akuntabel, memastikan bahwa alutsista yang dibeli benar-benar sesuai kebutuhan, bukan semata-mata karena desakan politik atau bisnis.
Kekuatan maritim
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ribuan pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa. Akan tetapi, kekuatan maritim kita selama ini sering kali dipandang lemah. Di Laut Natuna Utara, misalnya, klaim tumpang tindih dengan negara lain menjadi ancaman serius bagi kedaulatan Indonesia.