Pelajaran dari Polemik Distribusi Gas Melon

Kamis 06 Feb 2025 - 21:24 WIB
Oleh: Hanni Sofia

Kebijakan energi memang tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan ekonomi makro. Indonesia saat ini masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan elpiji dalam negeri.

Dari total konsumsi elpiji nasional yang mencapai sekitar 8,7 juta ton per tahun, lebih dari 6 juta ton di antaranya berasal dari impor.

Ini berarti fluktuasi harga minyak dunia akan sangat mempengaruhi biaya subsidi yang harus ditanggung pemerintah.

Dengan kondisi fiskal yang terus menghadapi tekanan, wajar jika pemerintah mencari cara untuk menekan anggaran subsidi yang semakin membengkak.

BACA JUGA:Menguatnya Rupiah di Google dan Ilusi Digital yang Menyesatkan

Namun, pengurangan subsidi tidak boleh dilakukan dengan cara yang membebani masyarakat kecil. Jika pemerintah ingin mengurangi beban subsidi elpiji, maka harus ada alternatif yang jelas.

Salah satu solusinya adalah dengan mendorong penggunaan energi alternatif seperti gas alam terkompresi (CNG) untuk sektor industri dan komersial, sehingga konsumsi elpiji bisa lebih difokuskan pada rumah tangga yang benar-benar membutuhkan.

Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong inovasi energi seperti penggunaan biogas yang lebih berkelanjutan.

Keputusan Presiden Prabowo untuk mencabut larangan pengecer elpiji 3 kg menunjukkan bahwa kebijakan yang berpihak pada rakyat selalu menjadi prioritas.

Namun, ini juga menjadi peringatan bahwa kebijakan yang diambil harus melalui kajian mendalam sebelum diterapkan.

Tidak cukup hanya dengan niat baik untuk memperbaiki sistem, tetapi juga harus ada strategi implementasi yang matang agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

BACA JUGA:Menguatnya Rupiah di Google dan Ilusi Digital yang Menyesatkan

Ke depan, pemerintah perlu belajar dari pengalaman ini. Setiap kebijakan, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, harus dikaji dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampaknya terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan.

Sosialisasi yang cukup dan komunikasi yang baik dengan masyarakat juga menjadi faktor kunci agar kebijakan yang diterapkan bisa dipahami dan diterima dengan baik.

Reformasi distribusi elpiji memang diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang bijak. Jika tidak, kebijakan yang seharusnya bertujuan untuk menata ulang sistem justru bisa menjadi bumerang yang menciptakan ketidakstabilan di lapangan.

Indonesia membutuhkan kebijakan energi yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Kategori :