Mikroagresi dan Pedagang Es Teh

Ares Faujian-Istimewa-

Selain itu, komentar seperti "Wah, kulitmu eksotis!" atau "Hidung kamu mancung banget!", juga acap kali dianggap sebagai pujian di Indonesia. Namun sebenarnya mengandung bias yang merugikan.

Serangan mikro berakar dari bias implisit, yakni keyakinan bawah sadar yang mencerminkan stereotip. Stereotip ini bisa didapatkan dari informasi lingkungan sekitar, baik itu dari lingkungan pertemanan, keluarga, masyarakat, bahkan media sosial sekali pun.

BACA JUGA:Cara Cerdas Media Cetak Melawan Media Digital

Kemudian, mikroagresi ini juga bisa berasal dari kurangnya pendidikan atau pemahaman seseorang. Orang mungkin tidak sadar bahwa ucapan mereka bisa menyinggung. Maka dari itu, pentingnya peran orang tua, guru, masyarakat, hingga media massa, untuk selalu saling mengingatkan dan memiliki sanksi sosial terhadap mikroagresi yang sudah berlebihan.

Selain itu, kebiasaan sosial atau budaya juga memiliki dampak, yang mana beberapa budaya memiliki norma yang tidak inklusif terhadap kelompok tertentu. Artinya, kebiasaan mengejek kadang sudah ada dari kalangan anak-anak, pada daerah tertentu. Misalnya, sesama teman memanggil dengan nama orang tua atau mengolok-olok jenis pekerjaan orang tuannya. 

Kadang hal ini juga terbawa hingga seumuran orang dewasa. Riset dari Lui, dkk. (2020) memaparkan bahwa sikap siswa terhadap mikroagresi rasial dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kerusakan psikologis, ketidaktahuan budaya, dan ketidakpekaan rasial, dengan konteks memainkan peran utama dalam membentuk opini mereka.

Melabel orang-orang tertentu karena ciri khas (SARA, dsb.) yang ia miliki, menjadi ihwal yang dianggap biasa di sebagian masyarakat Indonesia. Walaupun berisiko benturan, namun di sebagian masyarakat telah dinormalisasi dan dianggap biasa. Apakah ini juga terjadi di daerahmu? 

Mikroagresi sulit dideteksi karena sifatnya yang halus dan kadang tidak disengaja. Banyak pelaku tidak menyadari efeknya, sementara korban juga ragu untuk melawan, terutama di tempat kerja atau lingkungan yang hierarkis. Mikroagresi memiliki dampak besar terhadap kesehatan mental, seperti stres, kecemasan, dan isolasi sosial, meskipun tampak kecil. 

Sebuah studi oleh American Psychological Association menemukan bahwa mengalami mikroagresi terus-menerus dapat mengurangi rasa percaya diri dan produktivitas, terutama di tempat kerja. Kajian Ackreman-Barger, dkk., (2021) menyebutkan bahwa mikroagresi dapat meningkatkan tingkat stres, depresi, dan berdampak negatif pada kinerja akademis, sehingga mitigasi diperlukan untuk mendorong budaya inklusif.

BACA JUGA:DPR Anggap Jabatan Utusan Khusus Opsional, Pengisian Posisi Gus Miftah Tidak Wajib Diisi

Kiat Menghadapi Mikroagresi

Untuk mengurangi mikroagresi, kesadaran dan tanggung jawab bersama diperlukan. Langkah pertama adalah belajar tentang stereotip dan bias yang sering tidak disadari. Artinya, kita harus tahu dan peka bahwa di dunia ini bukan hanya ada kita saja. Namun ada berbagai macam ragam kelompok dari yang mayoritas hingga minoritas.

Dalam kehidupan sehari-hari, bersikaplah empati dan menghindari stereotip dapat membantu mengurangi efek negatif. Hal ini berguna agar miskomunikasi, benturan, hingga konflik tidak terpantik, bahkan tidak berkepanjangan.

Selain itu, sangat penting bagi organisasi dan komunitas untuk membuat lingkungan yang aman di mana orang dapat berbicara tentang pengalaman mereka tanpa takut didiksriminasi atau dilabel negatif. Ketika mikroagresif terjadi, kritik konstruktif juga diperlukan untuk menegur pelaku dengan sopan.

Mikroagresi dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak bersahabat, dan mengatasinya memerlukan pelatihan formal bagi para pendidik fakultas dan strategi di tingkat individu, program, dan kelembagaan (Miller & Chen, 2021). Kita dapat membangun masyarakat yang lebih sadar, peduli, dan inklusif dengan melakukan tindakan kecil bersama.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan