Mikroagresi dan Pedagang Es Teh
Ares Faujian-Istimewa-
Dari program AFS (2024), kami diajarkan kiat-kiat umum dalam menghadapi atau menyikapi mikroagresi. Jika kita tidak yakin apakah perlu menanggapi serangan mikro, pikirkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
Pertama, jika kita merespons, apakah hal ini akan berdampak negatif pada diri sendiri? Misalnya melalui bahaya fisik atau dengan memengaruhi hubungan secara negatif (membakar hubungan dengan anggota keluarga atau rekan kerja, misalnya).
Kedua, apakah kita bersedia untuk terlibat dalam perdebatan dan berurusan dengan orang yang berpotensi bersikap defensif? Ketiga, apakah hal ini akan membahayakan harga diri dan martabat diri sendiri atau dengan kata lain, apakah kita akan menyesal karena tidak berbicara?
Jika Anda memutuskan untuk menjawab, temukan beberapa cara sederhana untuk mengatasi agresi mikro dengan cara yang tidak agresif. Berikut cara sederhana tersebut menurut AFS (2024).
Pertama, periksa dan minta klarifikasi: Tingkatkan kesadaran tentang apa yang telah dikatakan dan periksa maksud di baliknya. Misalnya dengan mengatakan: “Apa yang kamu maksud ketika kamu mengatakan ............ ?” “Saya tidak yakin saya mengerti mengapa ini lucu. Bisakah Anda menjelaskannya?”
Kedua, menantang stereotip: Tunjukkan bahwa Anda tidak setuju dengan pernyataan tersebut dengan memberikan perspektif Anda dan berbagi pengalaman Anda, misalnya dengan mengatakan: “Sebenarnya, menurut pengalaman saya ....... .”
BACA JUGA:1,5 Bulan Menjabat, Gus Miftah Ngaku Belum Terima Gaji dan Tidak Memanfaatkan Fasilitas Negara
Ketiga, tunjukkan dampaknya: Jelaskan perasaan atau reaksi apa yang ditimbulkan oleh pernyataan atau tindakan tersebut. “Saya yakin itu bukan maksud Anda, tetapi ketika Anda mengatakan .......... ini sebenarnya menyakitkan karena ....... .”
Keempat, tawarkan jalan keluar: tunjukkan empati dan tawarkan pendekatan baru, misalnya dengan mengatakan: “Secara pribadi, ini telah membantu saya ....... .”
Penutup
Dalam hiruk pikuk berita yang menggema di jagat maya tentang Gus Miftah dan kontroversi ucapannya, kita seakan diingatkan bahwa kata-kata, bahkan yang terlihat sederhana, dapat menjadi bilah tajam yang melukai. Pedagang es teh yang menjadi subjek guyonan itu bukan sekadar representasi sebuah profesi; ia adalah potret perjuangan sehari-hari, martabat manusia, dan harga diri yang tak bisa diabaikan.
Di balik gelas-gelas es teh yang dingin, ada peluh yang hangat, ada cerita yang diam, tapi tidak pernah hilang dari ingatan. Kita belajar, bahwa memahami emosi yang tak terucap jauh lebih sulit dibandingkan membaca kata-kata yang tertera di layar ponsel.
Seperti serangkaian pelajaran yang disampaikan dalam program AFS, mikroagresi mengingatkan kita pada kekuatan halus dari tindakan dan kata. Kehidupan, dalam berbagai dimensinya, adalah dialog panjang yang membutuhkan kesadaran untuk mendengar dan memahami.
Mungkin, kisah ini menjadi refleksi bagi kita semua: adakah kata yang pernah kita lontarkan tanpa sadar menjadi belati bagi orang lain? Adakah tindakan kecil yang kita abaikan, ternyata menciptakan luka besar?
Akhirnya, di tengah arus cepat perubahan sosial, kita perlu meluangkan waktu untuk berhenti sejenak. Kita perlu bertanya pada diri sendiri, dan mulai belajar berbicara dengan kelembutan, bukan hanya demi mendengar respons, tetapi demi memahami manusia di seberang pandangan kita.