Pelaku Usaha Khawatir RPMK Mengancam Keberlangsungan Rokok Elektronik
Petugas Bea Cukai Makassar memperlihatkan jutaan batang rokok ilegal hasil sitaan operasi saat pemusnahan di Makassar, Sulawesi Selatan. Arsip - (ANTARA FOTO/ Yusran Uccang.)--
BELITONGEKSPRES.COM - Para pelaku usaha dalam industri rokok elektronik mengungkapkan kekhawatiran terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur kemasan polos tanpa merek. Mereka percaya bahwa regulasi ini dapat berdampak negatif bagi keberlangsungan industri rokok elektronik di Indonesia.
Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menyoroti bahwa kebijakan ini akan mempengaruhi seluruh aspek industri rokok elektronik. Menurutnya, pengaturan yang ketat berpotensi meningkatkan peredaran rokok elektronik ilegal, yang tidak dikenakan cukai, dan pada akhirnya mengancam penerimaan negara dari sektor ini. Selain itu, industri rokok elektronik berkontribusi pada lapangan kerja dan mendukung industri kreatif yang juga akan terkena imbas dari kebijakan baru ini.
Budiyanto menegaskan, "Kami tidak setuju dengan aturan ini karena industri rokok elektronik bukan sekadar solusi untuk mengurangi risiko adiksi. Banyak sektor terkait yang bergantung pada industri ini, seperti industri kreatif dan penyedia bahan baku. Jika pengaturan kemasan terlalu ketat, inovasi dalam industri ini akan terhambat."
Ia mengajak pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan secara menyeluruh, tidak hanya dari sudut pandang pencegahan. Industri rokok elektronik telah memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan lapangan kerja dan menambah pendapatan negara.
BACA JUGA:Harga BBM Pertamax dan Dex Series Alami Penurunan di Oktober 2024
BACA JUGA:UMKM Binaan Pertamina di GP Mandalika 2024 Raup Omzet Rp1,1 Miliar
"Industri ini memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Namun, regulasi yang ada justru menimbulkan ancaman bagi perkembangan kami. Kami berharap pemerintah mau berdialog untuk meninjau ulang regulasi ini demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan," ujar Budiyanto.
Dalam pandangan lain, praktisi hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hari Prasetiyo, berpendapat bahwa RPMK seharusnya memperkuat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, bukan justru menciptakan regulasi yang bertentangan.
"Wacana kemasan polos tanpa merek berpotensi menimbulkan masalah baru, termasuk dalam hal persaingan usaha, perlindungan konsumen, serta hak kekayaan intelektual," ungkapnya.
Hari juga mencatat bahwa kebijakan mengenai kemasan polos tampak dipaksakan tanpa mempertimbangkan profil risiko yang ada. Dia mengingatkan pentingnya edukasi yang cukup bagi masyarakat, agar mereka dapat memahami peraturan baru ini dengan baik.
BACA JUGA:Dubes RI: E-Paspor Beri Keuntungan Besar bagi Warga Negara Indonesia
BACA JUGA:Solusi Menteri ESDM Tingkatkan Produksi Migas dengan Intervensi Teknologi
"Harus ada upaya lebih untuk memastikan edukasi telah disampaikan secara efektif kepada masyarakat," tegasnya.
Ia menekankan bahwa semua pihak terkait perlu terlibat dalam proses perumusan aturan yang berdampak langsung pada pelaku usaha. Hal ini penting untuk menghindari kerugian bagi pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja dan penerimaan pajak bagi negara. (ant)