Turunkan NEET, Angkat Daya Saing Indonesia

Foto Arsip - Sejumlah peserta menjahit baju saat mengikuti pelatihan tata busana di Pusat Pelatihan Kerja Daerah Jakarta Selatan--(ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/Spt)
JAKARTA, BELITONGEKSPRES.COM - Di tengah geliat transformasi digital dan potensi bonus demografi, Indonesia justru masih menghadapi tantangan serius: tingginya jumlah pemuda berstatus NEET alias Not in Education, Employment, or Training.
Kondisi ini bukan cuma soal pengangguran, tapi juga ancaman bagi daya saing bangsa ke depan. Lantas, apa penyebab utama tingginya angka NEET dan bagaimana strategi jitu untuk mengatasinya?
Indonesia sekarang ini sedang mengalami perubahan besar dalam struktur tenaga kerja akibat transformasi digital, perubahan demografi, globalisasi, dan tantangan lingkungan.
Salah satu isu yang menjadi perhatian utama dalam ketenagakerjaan Indonesia adalah tingginya jumlah pemuda yang tergolong dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training).
NEET merujuk pada individu, biasanya dalam rentang usia 15-24 tahun, yang tidak sedang bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, dan tidak mengikuti pelatihan keterampilan.
Fenomena NEET sering menjadi perhatian dalam kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan karena kelompok ini berisiko mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan di masa depan, mengalami ketidakstabilan ekonomi, dan berkontribusi pada masalah sosial seperti kemiskinan atau ketidaksetaraan.
Di bidang ketenagakerjaan, Indonesia menghadapi tantangan khusus, seperti dominasi sektor informal, rendahnya produktivitas, dan kesenjangan keterampilan tenaga kerja. Dengan populasi muda yang besar, Indonesia berpotensi memanfaatkan "dividen demografi" jika investasi dalam pendidikan, pelatihan, dan infrastruktur digital ditingkatkan. Namun, tanpa kebijakan yang tepat, risiko pengangguran dan ketimpangan akan semakin besar.
BACA JUGA:Membangun Tanah Papua dengan adat
Selain itu, perubahan iklim dan ketidakpastian ekonomi global turut memengaruhi stabilitas ketenagakerjaan. Pemerintah perlu mendorong industri berbasis teknologi, memperkuat perlindungan tenaga kerja, serta menciptakan kebijakan adaptif untuk menghadapi disrupsi di dunia kerja.
Di beberapa negara berkembang, tingginya angka NEET dapat mencerminkan kurangnya kesempatan kerja, rendahnya akses pendidikan, atau kondisi sosial-ekonomi yang tidak mendukung anak muda untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja atau pendidikan formal.
Peralihan menuju ekonomi rendah karbon menambah tantangan baru. Seperti negara lainnya, negara berkembang harus berinvestasi besar untuk menyeimbangkan sektor energi mereka ke arah sumber yang lebih ramah lingkungan. Proses ini akan menciptakan dan menghancurkan pekerjaan sekaligus mengubah keterampilan yang dibutuhkan.
Pemodelan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa transisi energi akan menghasilkan penciptaan lapangan kerja secara keseluruhan, asalkan pemerintah berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan ulang tenaga kerja. Namun, akan ada banyak gangguan di sepanjang jalan.
Selain pergeseran struktural dalam dunia kerja, negara berkembang menghadapi tantangan langsung yang mengancam pekerja. Negara-negara ini masih dalam tahap pemulihan dari pandemi COVID-19 dengan beban utang yang berat. Biaya pembayaran utang yang tinggi membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai pendidikan, pelatihan, dan layanan lain yang penting bagi pekerja masa depan.
Selain itu, kebijakan proteksionisme yang meningkat juga mempengaruhi dunia kerja. Pemberlakuan tarif baru oleh Amerika Serikat akan mengganggu perdagangan internasional, merusak hubungan rantai pasokan dan mempengaruhi pekerja di seluruh dunia. Namun, beberapa negara berkembang, terutama di Asia Tenggara, mungkin mendapat manfaat dari perubahan pola perdagangan ini.