Pasir Putih
Dahlan Iskan--
Saya pilih tunggu di dalam mobil. Waktunya membaca komentar di Disway. Mencicil pekerjaan hari itu. Dan lagi saya tidak boleh terlalu terkena pancaran sinar matahari --sepanas pancaran sinar petromak siang itu. Obat yang saya minum tiap hari tidak membolehkan itu.
Ternyata 30.000 tahun lalu sudah ada makhluk di sini. Jauh sebelum Nabi Adam yang sekitar 10.000 tahun lalu.
BACA JUGA:Karung Goni
BACA JUGA:Kaget Reuni
Lapar.
Ada kota kecil jauh di depan sana: Bowie. Ada di peta. Meski harus sedikit ke luar jalur, kami ke kota itu. Pukul 13.00. Panas-panasnya gurun.
Tertulis di Google: ada satu coffee shop. Ikuti saja garis biru di layar. Kami sudah tidak berharap ada variasi makanan pilihan. Apa saja. Sekadar isi perut.
Ternyata tidak ada apa-apa di kota Bowie. Kota ini rasanya salah letak. Aneh. Kenapa juga ada orang punya rumah di sini.
Kami pun keliling kota mencari si kafe. Google mengatakan: kami sudah sampai. Tujuan Anda di kiri jalan. Tidak ada kafe. Yang ada rumah biasa. Tertutup. Tidak ada tanda-tanda kehidupan apalagi bekas kafe.
Dalam dua menit kami sudah keliling ke seluruh kota. Tidak ada toko apalagi kafe. Kota ini kira-kira hanya seluas satu RW.
Tidak ada rumah bagus. Pun setengah bagus. Tidak ada orang di jalan. Tidak ada pintu rumah terbuka. Sepi. Mati.
Apa boleh buat: sekalian saja nanti makan malam di El Paso.
Embargo dan boikot selalu tidak berhasil untuk jangka panjang.
BACA JUGA:Juri Hamil
BACA JUGA:Juri Oat