Hendrya Sylpana

Pasir Putih

Dahlan Iskan--

Pun kalau Anda tidak bosan, rasanya saya yang mulai bosan: menulis kisah perjalanan ini. Seperti tidak ada urusan lain yang lebih besar saja.

Misalnya soal makan siang yang jadi makan bergizi itu: apanya yang salah. Atau heboh soal habib: keturunan Nabi Muhammad atau bukan.

Benarkah ada yang sengaja menjadikannya isu pertentangan tak kunjung padam di kalangan Islam. 

Begitu banyak kejadian di dalam negeri. Tapi saya di El Paso. Di sebelah pagar perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko. 

Terus di kawasan itu pun bosan. Sudah berhari-hari yang terlihat hanya gurun. Udaranya pun panas. Jalannya lurus-lurus --membosankan. Hanya seperti menyusuri garis-garis di buku tulis. 

Lalu saya sempat berdebat dengan Janet --sayangnya dia didukung suaminyi: mampir ke Pasir Putih atau tidak. Saya bilang tidak. Mereka bilang harus.

BACA JUGA:Gemah Ripah

BACA JUGA:Lewat Jam

''Kapan lagi bisa ke sini,'' katanyi.

Perjalanan begitu jauh. Tidak mungkin mereka akan ke sini lagi hanya untuk ke Pasir Putih. Saya bilang, itu tidak penting. Bukan kasus BTS yang kalah sinar dengan kasus timah --sayangnya mereka tidak mengerti apa itu BTS dan timah.

Janet yang menang. Apalagi suaminyi yang sedang pegang kemudi. Saya masih bilang: "Belum tentu kenyataannya seindah foto-fotonya."

Rupanya Janet telah melihat Google: betapa menakjubkannya White Sand. Di tengah gurun bersemak dan berladang minyak itu ada satu kawasan yang sangat berbeda. Luasnya mungkin satu kabupaten sendiri --kabupaten di Sulsel. Mencolok.

Di satu kawasan ini pasirnya putih semua. Berbukit-bukit. Bergelombang-gelombang. Berombak-ombak. Saya malas menceritakannya. Lihat sendiri di Google: White Sand National Park New Mexico. Atau sebangsa itu.

Ternyata banyak turis ke situ. Semua harus bermobil --untuk bisa memasuki tengah-tengahnya. Berkilo-kilo meter. Suami Janet menghentikan mobil. Keduanya naik ke gunung pasir putih itu. Joget-joget kesenangan. Berfoto ria. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan