Perempuan Penjaga Harmonisasi Alam dari Dayak Iban

Lidia Sumbun memetik daun engkerbai untuk bahan pewarna alam tenun ikat khas Dayak Iban. ANTARA/Helti Marini Sipayung--

Sejak 2016, Asppuk dan Yayasan Kehati melalui program Tropical Rainforest Conservation Action (TFCA) mendampingi masyarakat adat Dayak Iban. Program ini bertujuan melakukan konservasi tumbuhan pewarna alam di 11 kampung/dusun di Kecamatan Embaloh Hulu dan Batang Lupar, termasuk di Dusun Utik.

“Kami merestorasi kembali pengetahuan mereka tentang pewarna alam karena selama ini hanya penenun senior yang masih mengenal jenis tumbuhan pewarna alam ini. Beberapa tumbuhan juga sudah sulit ditemukan,” kata Salmiah.

Bersama perempuan Iban, mereka menggali kembali pengetahuan tentang pewarna alam. Proses ini didokumentasikan agar dapat diteruskan oleh generasi penenun berikutnya.

BACA JUGA:Bambu, Si Serbaguna untuk Masa Depan Industri Berkelanjutan

Tenun yang sudah menjadi sumber penghidupan perempuan Utik penting dilestarikan. Bila sumber penghidupan perempuan ini hilang maka identitas perempuan akan hilang.

“Kami juga menginisiasi penanaman kembali tumbuhan pewarna alam itu di sekitar rumah mereka agar praktik tenun dengan pewarna alam ini berkelanjutan,” ucapnya.

Pemerintah daerah juga mencoba mengambil peran dalam memasarkan produk mereka. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat mendirikan galeri di samping Pendopo Gubernur Kalbar di Kota Pontianak. Ada 147 jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang dipamerkan di galeri itu.

Kepala DLHK Provinsi Kalbar, Adi Yani, mengatakan produk HHBK punya peran penting dalam menyokong perekonomian masyarakat di sekitar hutan. Data DLHK Provinsi Kalbar menyebutkan pada 2023 nilai ekonomi HHBK daerah ini mencapai Rp2,21 miliar yang dihasilkan dari 42 kelompok usaha dengan 46 aneka komoditas.

Lawan krisis iklim

Pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan dipraktikkan masyarakat adat Dayak Iban sejak lama. Selain memanen, mereka memiliki peran melekat sebagai penjaga hutan. Setiap warga yang mengambil satu pohon, wajib menanam dua pohon pengganti.

Pohon-pohon di hutan adalah penyerap karbon dioksida (Co2), salah satu gas penyebab efek rumah kaca. Jika tidak diserap, Co2 bersama gas lainnya akan menahan panas sinar Matahari di Bumi sehingga tidak bisa dilepaskan ke atmosfer.

Akibatnya suhu Bumi makin panas dan pola cuaca berubah. Kondisi ini menyebabkan banyak bencana seperti hujan ekstrem yang memicu berbagai bentuk bencana hidrometeorologi dan kekeringan yang panjang. Semua kehidupan di Bumi akan terdampak.​​​​​​​

Lidia mengatakan sebagian besar tumbuhan pewarna alam yang digunakan mewarnai benang tenun ikat, hidup di dalam hutan adat mereka. Dengan demikian, melindungi hutan adat sama dengan melestarikan tradisi tenun ikat dan menjadi salah satu tumpuan pendapatan.

BACA JUGA:Peran Penting Tri Pusat Pendidikan, Wujudkan Indonesia Emas 2045

Kesetiaan masyarakat Sungai Utik menjaga dan melestarikan hutan membuat mereka mendapat sejumlah penghargaan bergengsi. Pada 2019, mereka mendapat Equator Prize sebagai ganjaran atas konsistensi perjuangan dalam menjaga hutan yang mampu melindungi sekitar 1,31 juta ton metrik karbon hutan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan