Tirai Keluarga
Dahlan Iskan--
Ia melihat bawaan saya.
"Hanya itu?"
“Mauuuu".
Mungkin saya akan langsung ditolak kalau terlihat bawa koper besar. Waktu tiga menit tidak cukup untuk menyeret koper ke kereta.
"Saya bisa lari," kata saya.
Ia tersenyum –mungkin lihat kacamata hitam saya yang baru yang lupa saya copot.
"Anda tunggu di kursi sana itu," katanya sambil menyerahkan tiket saya. Kali ini saya bayar pakai kartu. Agar, kalau tidak dapat kursi, uang bisa balik masuk kartu itu –tidak nyasar ke kartunya Jokosp SP.
BACA JUGA:Risang Bima
Di kursi tunggu saya pun lihat layar HP: masih pukul 08.30. Masih bisa berdebar agak lama. Saya tidak berdoa semoga ada mobil calon penumpang yang kesasar di padang pasir. Saya pasrah. Tawakal. Saya tidak berusaha menjemput takdir. Saya murni menunggu nasib.
Pun satu wanita bercadar hitam di ujung kursi sana.
Setengah jam detak jatung berlomba cepat dengan detik di HP. Kurang lima menit. Petugas minta tiket saya. Juga tiket si hitam. Dibawa masuk. Tanda-tanda baik.
Kurang tiga menit. Ada petugas memberi kode dari jauh: dengan tangannya.
BACA JUGA:Kepentingan Umum
Saya bergegas lari ke arahnya. Ke arah kereta. Saya diantar oleh petugas itu masuk gerbong. Aman. Terus berjalan ke gerbong depannya: penuh. Banyak tempat duduk berhadapan: diberi tirai. Mungkin satu keluarga di balik tirai itu.
Masuk lagi ke gerbong di depannya: penuh. Sebagian gerbong ini dikosongkan. Lantainya diberi karpet. Ada sajadah terhampar: musala.