Konsekuensi Legitimasi Pemerintahan yang Lemah

Sejumlah pengunjuk rasa memblokade jalan selama bentrokan dengan Penjaga Perbatasan Bangladesh (BGB) dan polisi setelah mahasiswa memprotes kuota untuk pekerjaan pemerintah dan tingginya angka pengangguran di Dhaka, Bangladesh, Jumat (19/7/2024). Dalam ke-REUTERS/Mohammad Ponir Hossain/Spt- ANTARA FOTO

Muhammad Yunus merupakan simbol perlawanan pemerintah yang merupakan musuh politik mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. Ia ditunjuk sebagai pemimpin sementara negara itu.

BACA JUGA:AI dan Pekerjaan: Evolusi atau Eliminasi?

Tokoh berusia 84 tahun itu pernah meraih Nobel Perdamaian dan dikenal sebagai pelopor keuangan mikro, yang membantu mengangkat sebagian masyarakat termiskin di negara itu keluar dari kemiskinan, sehingga ia kerap dijuluki “bankir kaum miskin”.

Meski Prof. Yunus dipuji banyak kalangan karena mempelopori penggunaan pinjaman mikro untuk kaum miskin, Perdana Menteri Sheikh Hasina yang berkuasa pada tahun 2008, menganggapnya sebagai musuh masyarakat dan menuduhnya sebagai “Penghisap darah" orang miskin melalui kegiatan bisnisnya.

Hasina melakukan serangkaian penyelidikan terhadap Prof. Yunus dan para pendukungnya yang dinilainya bermuatan politik. Prof. Yunus saat ini berstatus dibebaskan dengan jaminan sembari mengajukan banding atas hukuman penjara enam bulan.

Saat ini, setelah pemerintahan Sheikh Hasina berakhir, Prof Yunus-lah yang muncul sebagai tokoh yang disukai oleh para pemimpin protes mahasiswa untuk mengarahkan Bangladesh kembali ke stabilitas ekonomi. Para pengunjuk rasa menginginkannya menjadi penasihat utama bagi pemerintahan sementara.

BACA JUGA:Minyak Nilam Indonesia yang Harumkan Dunia

Sheikh Hasina dalam wawancara ​​​​​​​dengan Economic Times menyatakan adanya keterlibatan pihak Amerika Serikat (AS) yang berada di balik kerusuhan tersebut untuk menjatuhkan pemerintahannya karena tidak mengijinkan pihak AS untuk membangun pangkalan militer di pulau Saint Martin.

Dijelaskan lebih lanjut seorang diplomat senior AS yang mengunjungi Dhaka pada bulan Mei 2024 berusaha menekan Hasina agar berinisiatif melawan China.

Rusia pun pernah memprediksi melalui Juru bicara Kementerian Luar Negerinya, Maria Zakharova dalam sebuah konferensi pers pada bulan Desember 2023 bahwa jika Hasina kembali berkuasa dalam pemilihan umum 2024, AS akan menggunakan semua kekuatannya untuk menggulingkan pemerintahannya.

AS akan menciptakan situasi seperti "Arab Spring" untuk membawa perubahan rezim tersebut. Di dalam laporan-laporan utama sering menyebutkan bahwa AS telah mengincar Pulau St. Martin selama bertahun-tahun untuk pangkalan angkatan udara keduanya di wilayah tersebut.

BACA JUGA:Lika-liku Lenyapkan TB

Pada Mei sebelum terjadinya kerusuhan, Sheikh Hasina juga mengeklaim bahwa AS mencoba mengambil alih pulau tersebut, dengan menjanjikan bahwa ia akan terpilih kembali dalam Pemilu tersebut tanpa hambatan jika ia mengizinkan AS mendirikan pangkalan angkatan udara di pulau tersebut.

Pada Juni 2023 Hasina mengatakan bahwa partai oposisinya yaitu Bangladesh Nationalist Party (BNP) ingin menjual Pulau St. Martin untuk merebut kekuasaan pemerintahan. Jika BNP berkuasa, mereka akan memberikan pulau Saint Martin kepada pihak asing dengan dalih memposisikan Bangladesh dalam Dialog Keamanan Quadrilateral/Quadrilateral Security Dialogue (Quad). Bahkan disinggungnya bahwa ada rencana pihak AS untuk membentuk negara kecil dengan mengambil bagian dari Bangladesh dan Myanmar, seperti yang terjadi di Timor Leste.

Penting untuk dicatat bahwa kudeta di Bangladesh secara luas dispekulasikan sebagai operasi pergantian rezim oleh AS. Protes di Bangladesh, kekerasan, dan kepergian Sheikh Hasina dari negara tersebut telah menimbulkan pertanyaan apakah ada AS di balik kudeta tersebut.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan