AI dan Pekerjaan: Evolusi atau Eliminasi?

Ilustrasi - Para guru madrasah di Aceh saat mengikuti pelatihan terkait penggunaan AI dalam pembelajaran, di Banda Aceh, Selasa (25/2/2025)--ANTARA/HO

Kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI) berpotensi mengubah pasar tenaga kerja secara global, termasuk di Asia Tenggara.

Lembaga riset internasional McKinsey Global Institute memperkirakan AI dapat menghilangkan 375 juta pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2030.

Para pendukung teknologi optimistis bahwa AI akan memberikan manfaat positif bagi penciptaan lapangan kerja. Seperti revolusi teknologi sebelumnya, mereka berpendapat bahwa meskipun otomatisasi menggantikan beberapa pekerjaan, hal itu juga akan menciptakan industri dan profesi baru yang dapat mengimbangi kehilangan pekerjaan, sambil mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Sejarah menunjukkan bahwa perubahan teknologi telah mengubah struktur pekerjaan. Pada awal abad ke-20, sektor pertanian menyumbang 40% dari tenaga kerja AS. Sementara sekarang, kontribusi sektor tersebut terhadap sektor ketenagakerjaan hanya kurang dari 2%.

BACA JUGA:Minyak Nilam Indonesia yang Harumkan Dunia

Ketika pekerjaan pertanian hilang, pekerja beralih ke industri baru. Sektor layanan sekarang mempekerjakan hampir 80% tenaga kerja AS, sementara manufaktur dan konstruksi hanya menyumbang 20%.

Namun, di sisi lain, para skeptis teknologi, khususnya dalam kebijakan publik, khawatir bahwa AI akan menyebabkan kehilangan pekerjaan massal dan menciptakan ketimpangan yang lebih besar antara pemilik modal dan pekerja yang kehilangan pekerjaan.

Goldman Sachs memperkirakan bahwa AI dapat menghapus 300 juta pekerjaan penuh waktu di seluruh dunia. Sebuah survei dari World Economic Forum memberikan pandangan yang lebih optimistik, memproyeksikan bahwa AI akan menghilangkan 83 juta pekerjaan sambil menciptakan 69 juta pekerjaan baru—yang menghasilkan kehilangan bersih 14 juta pekerjaan, atau hanya 2% dari total pekerjaan saat ini di industri yang terpengaruh oleh AI.

Meskipun proyeksi terburuk mungkin tidak terjadi, AI diperkirakan akan mengubah pasar kerja global. Pengangguran yang disebabkan oleh teknologi bisa memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, dengan potensi dampak yang besar.

BACA JUGA:Lika-liku Lenyapkan TB

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mungkin terpaksa menaikkan pajak di sektor-sektor yang menguntungkan untuk mendanai program-program sosial dan publik. Hal ini akan menciptakan dilema bagi bisnis, yang harus mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi untuk menghindari kenaikan pajak, namun di sisi lain, mereka harus mengadopsi otomatisasi untuk meningkatkan efisiensi dan margin keuntungan.

Dalam jangka panjang, tekanan pajak yang lebih tinggi dan penurunan daya beli konsumen dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, para pembuat kebijakan mungkin perlu menaikkan pajak agar keuntungan otomatisasi tidak mengorbankan stabilitas sosial yang penting.

Singapura, sebagai pusat keuangan dan teknologi di Asia, berada di garis depan dalam adopsi AI. Dengan ekonomi berbasis layanan dan industri teknologi yang berkembang pesat, otomatisasi dapat mengurangi pekerjaan di sektor administrasi dan perbankan, tetapi juga menciptakan peluang baru dalam penelitian dan pengembangan teknologi.

Sebuah laporan dari Kementerian Tenaga Kerja Singapura menyatakan bahwa sekitar 20% pekerjaan di sektor jasa keuangan berisiko tergantikan oleh AI dalam dekade mendatang. Namun, ketimpangan keterampilan dapat menjadi masalah, karena pekerja yang kurang terampil mungkin tidak dapat beralih ke industri baru yang berbasis AI.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan