Pentingnya Literasi Digital Terkait Larangan Main Medsos pada Anak

Kamis 05 Dec 2024 - 21:20 WIB
Oleh: Edy M Yakub

Pada 28 November 2024, kantor berita AFP melaporkan Senat Australia mengesahkan undang-undang (UU) Keamanan Daring atau "Online Safety Amendment Social Media Minimum Age Bill 2024" yang melarang penggunaan media sosial oleh anak-anak di bawah usia 16 tahun.

Majelis tinggi parlemen Australia meloloskan UU Keamanan Daring itu dengan perbandingan 34 suara mendukung berbanding 19 menolak.

Artinya, Negeri Kanguru pun resmi melarang anak-anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial, seperti TikTok, Instagram, SnapChat, Facebook, Reddit, dan X/Twitter

Beleid ini melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan platform media sosial dan memberikan denda kepada perusahaan teknologi hingga 50 juta dolar Australia (sekitar Rp516 miliar) jika kedapatan lalai, apalagi mengabaikan aturan ini, membiarkan anak-anak tetap menggunakan platform mereka.

BACA JUGA:Era Baru, Guru Kembali ke Hulu

RUU yang berlaku efektif pada Oktober 2025 tersebut tidak memuat rincian soal cara kerja perusahaan mematuhi aturan. Namun media The Guardian menyebut bahwa Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mendukung UU yang akan mengurangi bahaya yang mengancam anak karena penggunaan media sosial.

Bagi Albanese, media sosial merupakan platform yang mendorong kecemasan, penipuan, serta hal buruk lainnya, karena itu anak-anak muda Australia harus melepas ponsel mereka dan mulai membiasakan aktivitas fisik, seperti bermain bola di lapangan, main di lapangan tenis, maupun berenang.

Tentu saja, larangan menggunakan media sosial itu juga menuai banyak penolakan, baik dari kalangan anak-anak, akademisi, politisi, maupun aktivis, misalnya Elsie Arkinstall yang berusia 11 tahun, seperti dikutip AFP, mengaku platform digital membantunya leluasa untuk berhubungan dan berkomunikasi tanpa harus bertemu langsung.

Agaknya, larangan penggunaan media digital atau bermain medsos itu berkaitan dengan "dua sisi" dari era digital yang belum berada dalam posisi seimbang yakni sisi digitalisasi dan sisi literasi digital.

BACA JUGA:Melihat Layanan Pengaduan di OJK

Selama ini hanya sisi digitalisasi yang menguat dimana-mana, baik dalam bentuk aplikasi maupun pemanfaatan untuk kemudahan atau sesuatu yang diperoleh secara instan.

Diakui atau tidak, manfaat digitalisasi itu tidak selamanya bersifat positif, banyak juga yang negatif, bahkan hal yang positif pun belum tentu benar.

Sebagaimana disebut dalam buku "Kesalehan Digital" (2023) bahwa anonim adalah salah satu dari sifat dunia digital yang membuat penggunanya menjadi "berani" berbuat apa saja.

Misalnya, sisi negatif dunia digital yang banyak menonjol itu antara lain adalah hoaks, scams/crime, framing, hack, pishing, bully, radikal digital, rekayasa video/grafis/penyuntingan, dan sebagainya.

Contoh scams adalah judi online, yang omzetnya selama semester II/2024 dicatat PPATK mencapai Rp283 triliun, atau meningkat dari semester I/2024 sebesar Rp174 triliun.

Kategori :